News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Putusan Sebelumnya Jadi Pertimbangan MK Kabulkan Sebagian Permohonan Evi Novida dan Arief Budiman

Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman (kiri) bersama Komisioner KPU, Evi Novida Ginting Manik memberikan keterangan pers di Kantor KPU, Jakarta Pusat, Senin (24/8/2020). Evi Novida Ginting Manik kembali menjabat sebagai Komisioner KPU setelah sempat diberhentikan karena dugaan pelanggaran kode etik oleh Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP). Tribunnews/Irwan Rismawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31/PUU-XI/2013 menjadi salah satu pertimbangan MK mengabulkan sebagian permohonan Anggota KPU RI Periode 2017-2022 Evi Novida Ginting Malik dan Anggota KPU RI Periode 2017-2022 Arief Budiman dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Hakim Konstitusi Suhartoyo menjelaskan inti permohonan yang diajukan para Pemohon adalah frasa "final dan mengikat" dalam Pasal 458 ayat (13) UU 17/2017 yang dalam penjelasannya dinyatakan "cukup jelas", telah menyebabkan Putusan DKPP tidak dapat ditafsir lain oleh Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu.

Sehingga putusan DKPP dimaksud telah menimbulkan akibat hukum. 

Oleh karenanya, DKPP menafsirkan bahwa putusan DKPP tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun termasuk diuji ke Pengadilan TUN. 

Hal tersebut, kata Suhartoyo menurut para Pemohon tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013 dan menyebabkan DKPP menjadi lembaga yang superior karena tidak memiliki mekanisme checks and balances.

Maka, lanjut dia, terhadap dalil pokok para Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sejumlah hal di antaranya bahwa terkait dengan permohonan tersebut Mahkamah sebelumnya pernah memutus pengujian Pasal 112 ayat (12) UU 15/2011 tentang Pamilu dalam putusan MK nomor 31/PUU-XI/2013 tanggal 13 April 2014.

Pasal tersebut, kata dia, mengatur bahwa putusan DKPP bersifat final dan mengikat. 

Terhadap frasa final dan mengikat ini Mahkamah melalui Putusan MK 31/PUU-XI/2013 menjatuhkan putusan yang di antara amarnya menyatakan frasa “bersifat final dan mengikat” dalam Pasal 112 ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ketentuan tersebut sepanjang tidak dimaknai, “Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu.

Selain itu, dalam amar putusan MK nomor 31/PUU-XI/2013 juga diputuskan bahwa frasa “bersifat final dan mengikat” dalam Pasal 112 ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Ketentuan tersebut sepanjang tidak dimaknai “Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu".

Kemudian, lanjut dia, pembentuk UU menyatakan tidak berlaku UU 15/2012 dengan berlakunya UU 7/2017.

Namun, kata dia, norma yang mengatur Putusan DKPP bersifat final dan mengikat tetap dipertahankan oleh UU 7/2017 yang diatur dalam pasal 458 ayat (13) UU 2017 yang dimohonkan pengujian dalam perkara yang diajukan Evi dan Arief.

MK mempertimbangkan bahwa permohonan tersebut dapat diajukan kembali.

Baca juga: MK Kabulkan Sebagian Permohonan Evi Novida Ginting dan Arief Budiman Terkait Putusan DKPP

Hal tersebut karena meskipun Pasal 458 ayat 13 UU 7/2017 mengatur norma yang sama dengan Pasal 112 ayat (12) UU 15/2012 jika mendasarkan pada Pasal 60 UU 8/2011 jo pasal 78 ayat (2) Peraturan MK nomor 2/2021 yang menyatakan bahwa terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali, kecuali jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.

Terlepas dari permohonan a quo dapat diajkan kembali ataupun tidak, lanjut dia, namun muatan norma yang terdapat dalam Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian adalah muatan norma yang sama diatur dalam pasal 112 ayat (12) UU 15/2012 yaitu norma mengenai putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat.

Oleh karena itu, lanjut dia, isu konstitusional yang dipersoalkan oleh Pemohon Perkara Nomor 31/PUU-XI/2013 sama dengan yang dipersoalkan oleh Evi dan Arief.

Dengan demikian, lanjut dia, terhadap norma mengenai putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2014. 

"Sehingga menurut Mahkamah pokok permohonan para Pemohon memiliki keterkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/20134," kata Suhartoyo dalam sidang Pengucapan Putusan/Ketetapan yang disiarkan di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI pada Selasa (29/3/2022).

Sementara itu, lanjut dia, dalil para Pemohon selebihnya sepanjang masih relevan dengan substansi pertimbangan hukum yang akan diuraikan lebih lanjut oleh Mahkamah akan turut dipertimbangkan lebih lanjut pula.

Suhartoyo juga menjelaskan dalam putusan Nomor 32/PUU-XIX/2021 yang dalam hal ini diajukan Evi dan Arief, Mahkamah telah menimbang bahwa DPR telah menyampaikan keterangan yang pada pokoknya menerangkan bahwa sifat final dan mengikat putusan DKPP tidak dapat disamakan dengan putusan final dan mengikat dari lembaga peradilan pada umumnya.

Hal tersebut karena DKPP bukan lembaga peradilan namun merupakan perangkat internal penyelenggara Pemilu yang diberi wewenang oleh UU.

Walaupun putusan DKPP bersifat final dan mengikat, lanjut dia, tetapi tetap perlu ditindaklanjuti dibuat suatu produk hukum berupa keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN.

Keterangan DPR tersebut, kata Suhartoyo, dibacakan dalam persidangan Mahkamah tanggal 12 Januari 2022 yang kemudian dilengkapi dengan keyerangan tertulis yang diterima kepaniteraan Mahkamah pada 3 Februari 2022.

Selain itu Mahkamah juga menimbang bahwa Presiden telah memberikan keterangan tertulis yang pada pokoknya menerangkan bahwa pengaturan dalam pasal a quo tidak membuat DKPP menjadi lembaga superior atas penyelenggara pemilu lainnya.

Hal tersebut karena sifat putusan DKPP tidaklah sama dengan final mengikat pada umumnya lembaga peradilan.

Sifat final dan mengikat putusan DKPP mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu yang melaksanakan putusan DKPP. 

Sehingga, lanjut dia, mekanisme checks and balances DKPP masih tetap ada.

Keterangan tertulis dari Presiden tersebut, kata dia, diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 4 Oktober 2021 dan dibacakan pada 5 Oktober 2021. 

Presiden, kata Suhartoyo, juga menyampaikan tambahan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 1 Desember 2021.

Kemudian, lanjut dia, Mahkamah juga menimbang bahwa berdasarkan Ketetapan Pihak Terkait nomor 5.32/PUU/TAP.MK/PT/9/2021 tanggal 9 September 2021 Mahkamah telah menetapkan DKPP sebagai pihak gerkait dalam perkara a quo dan kemudian dipanggil untuk memberikan keterangan dalam persidangan Mahkamah tanggal 5 Oktober 2021.

Namun, lanjut dia, pihak Terkait DKPP tidak memenuhi panggilan sidang dimaksud dan hanya menyampaikan keterangan secara tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah tanggal 4 Oktober 2021.

Pada pokoknya, lanjut Suhartoyo, DKPP menerangkan bahwa pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajiban DKPP dalam UU Penyelenggara Pemilu didesain dalam mekanisme dan prosedur kerja pengadilan (quasi peradilan) untuk memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran kdoe etik penyelenggara Pemilu. 

Untuk itu dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban, DKPP mengadopsi dan menerapkan prinsip-prinsip peradilan hukum.

"Selanjutnya, untuk memberi kepastian terjaganya kredibilitas penyelenggara Pemilu serta kredibilitas pemerintahan yang terbentik dari hasil Pemilu, UU mengatur putusan DKPP bersifat final and binding (final dan mengikat)," kata Suhartoyo menjelaskan keterangan pihak DKPP dalam perkara tersebut.

Diberitakan sebelumnya MK mengabulkan sebagian permohonan Evi dan Arief dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Putusan tersebut tertuang dalam Putusan Nomor 32/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang Pengucapan Putusan/Ketetapan pada Selasa (29/3/2022).

"Amar Putusan. Mengadili. Satu. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI pada Selasa (29/3/2022).

Kedua, lanjut Usman, MK menyatakan ketentuan pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Ketentuan tersebut, kata Usman, sepanjang tidak dimaknai, Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang bersifat konkret, individual, dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN.

Ketiga, MK memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

"Empat. Menolak permohonan para Pemohon selain dan sebagainya," kata Usman.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini