TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) akhirnya buka suara soal rekomendasi pemecatan Terawan Agus Putranto.
IDI membenarkan bahwa pada Muktamar ke-31 di Banda Aceh, Aceh, sudah dikeluarkan keputusan pemberhentian mantan Menteri Kesehatan (Menkes) itu dari keanggotaan organisasi profesi tersebut.
Menurut Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) IDI, Beni Satria, keputusan pemberhentian Terawan sebagai anggota IDI itu diambil berdasarkan rekomendasi sidang khusus Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) PB IDI.
"Terkait aturan organisasi di IDI dan juga di MKEK IDI, di situ memang dokter Terawan berdasarkan sidang muktamar sudah ditetapkan (sanksi) kategori 4. Kategori 4 adalah pemberhentian tetap. Dan itu yang akan ditindaklanjuti hasil putusan tersebut oleh PB IDI," kata Beni dalam jumpa pers, Kamis (31/3/2022).
Beni mengatakan pemberhentian Terawan dari keanggotaan IDI merupakan polemik panjang sejak 2013 silam.
Rekomendasi pemberhentian itu adalah usul dari MKEK dengan berbagai pertimbangan.
Rekomendasi kemudian kembali dibacakan pada Muktamar ke-31 IDI di Banda Aceh 21-25 Maret lalu.
"Ini merupakan proses panjang sejak tahun 2013 sesuai dengan laporan MKEK," kata Beni.
Baca juga: Menko PMK Menilai Pemecatan Terawan Berlebihan, Semestinya Bisa Diselesaikan Baik-baik
Beni menjelaskan pelanggaran etik dokter Terawan yang pertama adalah soal metode Digital Subtraction Angiography (DSA) atau publik lebih mengenal metode 'Cuci Otak'.
Terawan menamai metodenya dengan nama Intra-Arterial Heparin Flushing (IAHF) dan diklaim bisa menyembuhkan stroke.
Berdasar pemberitaan selama ini, DSA di dunia kedokteran sejak puluhan tahun digunakan sebagai alat diagnosis.
Namun, oleh Terawan digunakan sebagai terapi penyembuhan stroke dan "dijual" dengan harga yang tak murah.
Padahal, IAHF yang diusungnya belum terbukti secara ilmiah.
Menurut Beni, pelanggaran etik Terawan tak hanya soal DSA saja.
Setelah tahun 2018 diberikan rekomendasi pemecatan sementara terkait DSA, Terawan tak menggubris beberapa kali panggilan IDI untuk membela diri.
"Tidak hanya terkait tindakan DSA, beberapa putusan yang lain termasuk tidak memenuhi beberapa panggilan 3 kali, kemudian bahkan ditambah lagi 2 kali, tetapi tidak direspons juga oleh sejawat kami (Terawan). Sehingga MKEK kemudian bersidang kembali memutuskan ini (rekomendasi pemecatan permanen)," imbuhnya.
Terkait tindakan DSA yang dilakukan, sebenarnya sudah ada satgas khusus di bawah menteri kesehatan sebelum Terawan, yaitu bentukan Menkes Nila Moeloek, yang mengkaji.
Hal itu sesuai dengan Surat Kepmenkes 442 Tahun 2018.
"Bahwa tindakan tersebut (DSA) sesuai dengan kesimpulan hasil satgas belum terbukti ilmiah dan berpotensi melanggar disiplin. Untuk pengetesan alat tadi sudah dilakukan oleh satgas khusus tadi dan kesimpulannya seperti itu," jelas Beni.
"Kebetulan kami menerima file itu dan kami mempelajari dan kemudian kami serahkan ke satgas independen yang dibentuk oleh pemerintah bukan tim yang dibentuk oleh Tim IDI," sambungnya.
Beni menjelaskan, di dalam praktik kedokteran ada norma etik, disiplin, dan hukum. Semua profesi pasti mempunyai norma itu.
"Kita di profesi IDI hanya berkonsentrasi dalam penerapan norma etik. Apakah pemerintah bisa masuk? Pemerintah bisa saja masuk di dalam norma disiplin/hukum kalau memang itu dianggap ada pelanggaran hukum/disiplin. Kita punya KKI (Konsil Kedokteran Indonesia), di sana ada MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) di Kemenkes. Kita sendiri organisasi punya MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) untuk ranah etik. Apakah untuk disiplin dll, tentu itu kewenangan pemerintah," ujarnya.
Terkait rekomendasi pemecatan Terawan, Beni mengatakan rekomendasi MKEK itu akan diproses PB IDI dengan waktu selambat-lambatnya 28 hari kerja setelah putusan tersebut.
Ia menyebut PB IDI selaku perwujudan eksekutif dalam kelembagaan kedokteran akan memproses usulan itu sebagai bentuk pertanggungjawaban tugas organisasi.
Ia juga menambahkan, MKEK dalam hal ini telah menyampaikan hak-hak Terawan yang mengacu pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) serta tata laksana organisasi.
"Seluruh dokter Indonesia terikat kepada sumpah dan tunduk terhadap norma etik sebagai keseluruhan profesi kedokteran. Pembinaan serta penegakan standar norma etik di dalam profesi kedokteran menjadi tanggung jawab IDI," jelasnya.
Baca juga: IDI Segera Tindaklanjuti Proses Pemecatan Terawan Maksimal 28 Hari Kerja
Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi mengatakan keputusan dalam Muktamar ke-31 terkait pemecatan Terawan menjadi tanggung jawab pihaknya.
Menurut Adib, pihaknya harus menjalankan amanat muktamar tersebut.
"Tentu kita harus lalui dan upaya ini menjadi upaya kita bersama seluruh anggota IDI untuk kemudian bersama-sama menjaga etik dan tentunya menjalankan putusan MKEK yang ditetapkan dalam Muktamar 31," kata Adib.
Polemik kabar pemberhentian Terawan dari keanggotaan IDI mencuat dalam Muktamar XXXI di Banda Aceh, beberapa waktu lalu.
Forum tersebut memutuskan mencabut keanggotaan Terawan secara permanen usai mendapat rekomendasi dari Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) PB IDI.
Melalui surat kepada Ketua Umum PB IDI, MKEK menyebut sejumlah pelanggaran yang dilakukan Terawan.
Salah satunya mempromosikan Vaksin Nusantara ke masyarakat luas meskipun penelitian vaksin itu belum selesai.
Keputusan IDI memberhentikan Terawan mendapat kritik keras dari sejumlah pihak, terutama anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan pemberhentian terhadap Terawan tidak sah.
Protes keras juga dilontarkan mantan staf khusus Terawan, Jajang Edi Prayitno.
Jajang menyebut keputusan IDI memberhentikan Terawan sangat berlebihan hingga keterlaluan.
Ia menyebut sesuai marwah IDI, organisasi profesi tersebut semestinya melindungi Terawan.
"Kalau pemberhentian beliau kalau saya bilang ini sangat berlebihan. Ini pasiennya sendiri enggak nuntut, malah pengurusnya yang memberhentikan beliau ini kan kebablasan," kata Jajang.
Terawan pun telah buka suara soal pemberhentian dirinya.
Seperti disampaikan oleh mantan tenaga ahli Terawan di Kementerian Kesehatan, Andi menyebut hingga saat ini dokter militer itu masih menganggap dirinya merupakan bagian dari IDI.
"Sampai hari ini saya masih sangat bangga dan merasa terhormat berhimpun di sana (IDI). Teman sejawat itu seperti saudara kandung, jadi saya menyayangi semua saudara saya di sana (IDI)," kata Andi menirukan apa yang diucapkan Terawan.
Di sisi lain, Direktur Utama RSPAD Gatot Subroto Letjen A Albertus Budi Sulistya memastikan Terawan masih berpraktik sebagai dokter di rumah sakitnya.
Ia menyebut pemecatan keanggotaan Terawan masih berupa usulan.
"Beliau masih berpraktik di RSPAD Gatot Soebroto. Jadi itu bukan pemecatan. Itu kan saran dari Ketua MKEK kepada PB IDI, yang terjadi kan itu," kata Budi.(tribun network/rin/dod)