TRIBUNNEWS.COM - Jampidsus Kejagung, Febrie Adriansyah menjelaskan duduk perkara kasus izin ekspor minyak goreng yang menyeret Dirjen Perdagangan Luar Negeri (Daglu) Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana sebagai tersangka.
Febrie mengatakan, pihaknya telah melakukan penyelidikan terkait kasus minyak goreng ini sejak awal terjadi kelangkaan.
Yakni pada akhir tahun 2021 hingga awal tahun 2022, terutama bulan Januari, Februari, dan Maret.
Namun surat perintah penyelidikannya baru dikeluarkan pada 4 April 2022 lalu.
Baca juga: KPPU Minta Pihak yang Dipanggil untuk Proses Penyelidikan Dugaan Kasus Minyak Goreng agar Kooperatif
"Kita melakukan penyelidikan sejak tanggal 4 April 2022. Kita lakukan sebenarnya tidak singkat."
"Kalau dilihat dari surat penyelidikan singkat, tetapi ini memang sejak awal terjadi kelangkaan, akhir 2021, terutama Januari, Februari, Maret."
"Kita menyaksikan bahwa minyak goreng langka dan ini menjadi kesulitan masyarakat banyak, terutama masyarakat kecil yang berkaitan dengan usahanya yang butuh minyak goreng tersebut," kata Febrie dalam tayangan Breaking News Kompas TV, Jumat (22/4/2022).
Febrie menyebut pemerintah memiliki kebijakan untuk menjamin ketersediaan minyak goreng dengan harga yang terjaga.
Yakni melalui Keputusan Mendag Nomor 129 yang kemudian diubah menjadi Permendag Nomor 170 pada Maret 2022.
Baca juga: Kejagung Geledah Kantor Kemendag dan Rumah Indrasari Wisnu Wardhana Kasus Mafia Minyak Goreng
Dalam Permendag tersebut telah diatur, bahwa perusahaan yang diizinkan melakukan ekspor maka harus memenuhi ketentuan Domestic Market Obligation (DMO).
Dimana pada ketentuan pertama dalam Keputusan Mendag Nomor 129 ditentukan pemenuhan DMP sebesar 20 persen dan pada Permendag Nomor 170 ditentukan pemenuhan DMO sebesar 30 persen.
"Posisi kasus ini intinya ada kebijakan pemerintah untuk melindungi menjamin ketersediaan minyak goreng dengan harga yang terjaga."
"Yang intinya apabila akan dilakukan ekspor maka bagi perusahaan-perusahaan (eksportir) tersebut diwajibkan untuk memenuhi DMO (Domestic Market Obligation atau kebutuhan dalam negeri) sebesar 20 persen dan sebesar 30 persen di ketentuan kedua yaitu 170 Tahun 2022 dari Kemendag," terang Febrie.
Baca juga: KPPU Panggil 37 Pihak, Termasuk Pemerintah Telisik Kasus Dugaan Kartel Minyak Goreng
Ekspor Tetap Berjalan Meski Terjadi Kelangkaan di Dalam Negeri
Febrie menuturkan, sejak awal terjadinya kelangkaan, pihaknya telah melakukan pengamatan terkait ekspor minyak goreng.
Dengan aturan yang telah ditetapkan Kemendag yakni Keputusan Mendag Nomor 129 yang diubah menjadi Permendag Nomor 170 ini, seharusnya ketersediaan minyak goreng di dalam negeri masih ada.
Karena tiap perusahaan yang memiliki izin ekspor harus memenuhi DMO sebanyak 20 atau 30 persen.
Namun faktanya di lapangan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri masih langka.
Baca juga: Ketua DPR Pastikan Menteri Perdagangan akan Dipanggil untuk Jelaskan Persoalan Minyak Goreng
Selanjutnya berdasarkan penelusuran, ditemukanlah alat bukti yang cukup bahwa persetujuan ekspor yang diberikan oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri (Daglu) Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana telah melawan hukum.
Karena perusahaan yang mendapat izin ekspor nyatanya tidak memenuhi DMO yang telah ditetapkan.
"Kita sejak awal sudah lakukan pengamatan, bagaimana eskpor yang dilakukan. Sehingga kita dapat memastikan dengan 20 persen atau 30 persen itu seharusnya barang tersebut ada."
"Tapi karena ini terjadi kelangkaan, sehingga Kejaksaan melakukan penelusuran, melakukan penyelidikan."
"Maka telah ditemukan alat bukti yang cukup bahwa persetujuan eskpor yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan khususnya oleh Dirjen tadi yang kita tetapkan sebagai tersangka, itu dilakukan dengan cara melawan hukum, atau realnya kita ketahui DMO tersebut tidak terpenuhi secara nyata. Sehingga minyak goreng tersebut tidak ada di pasar," ungkap Febrie.
Baca juga: Anak Buahnya Terjerat Kasus Minyak Goreng, Mendag Lutfi: Saya Terkejut dan Prihatin
Kejagung Gandeng BPKP Hitung Kerugian Negara Kasus Mafia Minyak Goreng
Diwartakan Tribunnews.com sebelumnya, Kejaksaan Agung RI menggandeng Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghitung jumlah kerugian negara terkait dugaan korupsi izin persetujuan ekspor (PE) fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau mafia minyak goreng.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Febrie Adriansyah menyampaikan bahwa kasus mafia minyak goreng dinilai telah berdampak tak hanya terhadap perekonomian negara.
Akan tetapi, berdampak terhadap kebijakan pemerintah.
"Tentunya dengan rekan-rekan ahli auditor BPKP tidak saja melihat dampaknya di perekonomian. Karena ini kan ada dampak lanjutan ya seperti kebijakan pemerintah BLT maupun kebijakan-kebijakan yang lain. Tetapi di BPKP kemarin juga sudah mulai dibahas kerugian negara yang terjadi," kata Febrie di Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Jumat (22/4/2022).
Baca juga: Kasus Ekspor Minyak Goreng Terbongkar, Bukti Korupsi Tak Berhenti di Masa Pandemi
Karena itu, lanjut Febrie, pihaknya masih membutuhkan waktu untuk menghitung jumlah pasti kerugian negara dalam kasus tersebut.
Nantinya, pihaknya bakal segera menyampaikan kepada masyarakat.
"Dalam kualifikasi itu butuh waktu pasti. Tapi akan kita usahakan secepat mungkin ini akan kita selesaikan," katanya.
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani/Igman Ibrahim)