TRIBUNNEWS.COM - Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Suwandi mengatakan Kementerian Pertanian (Kementan) mendukung penuh pertanian dengan sistem organik, apalagi produknya sampai pada sertifikasi. Saat ini konsep organik telah banyak direplikasi daerah, sehingga berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi di pedesaan dan nasional.
"Organik mampu menjaga eksosistem kita, memperbaiki struktur tanah, menyehatkan dan memberi nilai tambah," demikian dikatakan Suwandi dalam webinar Bimbingan Teknis dan Sosialisasi (BTS) Propaktani, Jumat (22/4/2022).
Suwandi menjelaskan pertanian sistem organik merupakan salah satu program terobosan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang berdampak langsung pada peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional.
"Ekspor beras organik memiliki segmen pasar tertentu namun peluang ekspor beras organik masih terbuka lebar, terutama untuk negara-negara Eropa dan Amerika yang standar keamanan pangannya benar-benar terjaga," sebutnya.
Untuk itu, lanjutnya, Kementan dan Kementerian Perdagangan bersinergi meningkatkan ekspor beras organik guna memperkokoh pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan petani. Karena itu, setiap produk yang diekspor harus mengikuti standar, mempunyai sertifikasi internasional dan setiap tahun produk dilakukan pemeriksaan mutu.
“Keuntungan ekspor beras organik sangat besar. Harganya jauh lebih mahal dibandingkan beras premium. Beras organik yang diekspor berupa beras organik putih, beras hitam, beras merah, dan beras coklat. Beras tersebut diminati karena antara lain tidak menggunakan bahan kimia, non GMO, cita rasa yang khas. dan untuk bahan baku jenis makanan tertentu,” terangnya.
Pada kegiatan ini, Pengawas Mutu Hasil Pertanian Madya, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Barat, Lia Dahliany Dachlan menjelaskan bahwa sertifikasi pangan organik adalah rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat. Ini sebagai jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga sertifikasi yang telah diakreditasi untuk menyatakan bahwa produk tersebut telah memenuhi standar yang dipersyaratkan yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang Sistem Pangan Organik.
“Tata cara pengajuan sertifikasi organik di Jawa Barat dimulai dari pengajuan oleh Kelompok Tani ke Dinas Pertanian Kabupaten/Kota, identifikasi, verifikasi/validasi serta pembinaan untuk mendapatkan sertifikat organik,” jelas Lia.
Ketua P4S Dharma Kencana Kabupaten Indramayu, Ayi Sumarna mengatakan pihaknya sangat serius dalam membentuk kader-kader petani organik. Selain itu, untuk menjamin hasil produksi padi organik dapat ditampung dan dipasarkan, P4S membentuk koperasi produsen pangan Dharma Kencana Indramayu yang akan memasarkan produk beras organik lebih luas lagi.
Di Kabupaten Indramayu, pihaknya telah bekerjasama dengan KTNA Nasional untuk mempersiapkan 1.500 hektare lahan yang dipersiapkan untuk pengembangan padi organik Jawa Barat, khususnya di Kabupaten Indramayu. Selain itu, pihaknya mengaku, telah membentuk Asosiasi Petani Pengembang Pupuk Organik (AP3O) Jawa Barat, yang berpusat di Kabupaten Indramayu.
“Jadi petani-petani milenial yang bergerak di bidang pengolahan lahan organik tidak usah khawatir kemana hasil panennya dijual, kita akan tampung kita sudah punya market sendiri, harganya pun lebih tinggi sehingga masa depan dan kesejahteraan petani lebih terjamin,” ujarnya.
Direktur PT Icert Agritama Internasional (ICERT), Agung Prawoto mengatakan ICERT merupakan salah satu lembaga sertifikasi organik di Indonesia dengan lingkup sertifikasi organik untuk tanaman dan produk tanaman, ternak dan produk peternakan, produk liar, pengolahan produk asal tanaman, ternak dan produk liar, dan input organik.
Produk organik yang dipasarkan di Indonesia dengan klaim organik harus telah tersertifikasi organik berdasarkan SNI 6729:2016, Permentan No. 64/2013 dan Perka BPOM No.1/2017 dan berlabel ORGANIK Indonesia.
“Hal yang dilarang dalam sertifikasi organik di antaranya adalah pembukaan hutan atau area konservasi dan kegiatan pembakaran bahan organik di lahan. Lahan organik harus melawati masa konversi, untuk tanaman semusim selama 2 tahun dan tanaman tahunan selama 3 tahun dengan awal masa konversi dihitung dari tanggal penggunaan terakhir agrokimia atau input kimia,” kata Agung. (*)