KPK juga memastikan seluruh penanganan sejak tahap penyelidikan hingga penuntutan dilakukan dengan tetap mematuhi segala aturan hukum yang berlaku.
Dalam dugaan korupsi helikopter militer AW-101, modus yang dilakukan para tersangka dengan melakukan penggelembungan harga (mark up).
Awalnya dalam anggaran TNI AU dianggarkan pengadaan Helikopter AW-101 untuk VVIP senilai Rp738 miliar.
Namun, atas perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi), pengadaan itu dibatalkan.
Baca juga: Sidang Putusan Praperadilan Kasus Helikopter AW-101 Digelar Hari Ini, KPK Yakin Menang
Akan tetapi, ternyata muncul perjanjian kontrak No. KJP/3000/1192/DA/RM/2016/AU tanggal 29 Juli 2016 antara Mabes TNI AU dan PT Diratama Jaya Mandiri tentang pengadaan heli angkut AW-101.
PT Diratama Jaya Mandiri sudah membuat kontrak langsung dengan produsen Helikopter AW-101 senilai Rp514 miliar
Helikopter AW 101 untuk kendaraan angkut itu datang di akhir Januari 2017.
Akan tetapi, belum pernah digunakan hingga saat ini.
Penyidik POM TNI sudah memblokir rekening atas nama PT Diratama Jaya Mandiri selaku penyedia barang sebesar Rp139 miliar.
Panglima TNI saat itu, Jenderal Gatot Nurmantyo, menyebutkan ada potensi kerugian negara sebesar Rp224 miliar dalam pengadaan Helikopter AW-101.
Puspom TNI telah menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap lima tersangka kasus dugaan korupsi pembelian Helikopter AW-101.
Lima tersangka dari unsur militer, yaitu Wakil Gubernur Akademi Angkatan Udara Marsekal Pertama Fachry Adamy. Fachry adalah mantan pejabat pembuat komitmen atau Kepala Staf Pengadaan TNI AU 2016-2017.
Tersangka lainnya, Letnan Kolonel TNI AU (Adm) WW selaku mantan Pekas Mabesau, Pelda SS selaku Bauryar Pekas Diskuau, Kolonel (Purn) FTS selaku mantan Sesdisadaau, dan Marsekal Muda TNI (Purn) SB selaku Staf Khusus Kasau (mantan Asrena Kasau).