Pemerintah harus bertanggung-jawab atas kebijakan yang diputuskannya terutama kepada pihak yang paling rentan terdampak. Apalagi pandemi belum berakhir dan daya beli mereka masih lemah.
Menurut Mulyanto, insentif penting untuk meringankan petani sawit rakyat adalah dengan menyerap produk TBS tersebut dengan harga yang wajar.
"Misalnya dengan membeli dan mengolah biofuel yang bersifat mandatori dari sawit rakyat serta insentif pupuk," ucap Mulyanto.
Selain itu BUMN Perkebunan dan anak perusahaannya yang mengolah hasil perkebunan harus didorong Pemerintah untuk meningkatan serapan produk TBS petani sawit rakyat tersebut.
Langkah ini menurut Mulyanto akan cukup membantu para petani sawit rakyat selama masa pelarangan ekspor CPO.
Baca juga: Demo Minta Larangan Ekspor CPO Dicabut, Petani Sawit Disambangi Pihak Istana di Patung Kuda
Untuk diketahui dari data Kementerian Pertanian, pada tahun 2019 luas lahan sawit rakyat sebesar 5.9 juta hektar atau sekitar 41 persen dari luas total lahan sawit nasional. Lahan BUMN hanya sebesar 4 persen. Sisanya sebesar 55 persen adalah lahan sawit dari swasta besar. Dengan kebijakan pelarangan ekspor CPO dan turunannya, maka proporsi sawit rakyat yang terdampak cukup besar.
Diinformasikan, menyusul kebijakan pelarangan ekspor CPO dan seluruh turunannya dari Presiden Jokowi diumumkan (22/4/2022), harga TBS kelapa sawit dari petani rakyat langsung anjlok.
Harga TBS petani hari ini hanya mencapai Rp.1.200 per kg.
Apalagi untuk TBS dari petani yang non-kemitraan. Jauh dari sebelumnya dimana buah sawit petani dihargai Rp 3.600 sampai Rp4.000/Kg.