Atas tugas tersebut, Isfi mengaku mendapat imbalan dari setiap jasanya dalam mengurus dokumen.
"Saya hanya dapat Rp 1 juta per pekerjaan, tapi tahun ini belum ada," ujarnya.
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) Isfi mengaku mendapat uang Rp 5 juta saat mengerjakan dokumen di 2019, sementara di 2020 dia mengaku mendapat uang Rp 10 juta saat mengerjakan dokumen.
"Dalam BAP, Saudara menyebut 'Saya membantu mengurus proses mulai tender sampai proses pencairan milik Marcos. Dari pengurusan, saya dapat uang jasa dari Marcos Rp2 juta-Rp3 juta dari Marcos'. Ini benar?" tanya JPU KPK Zainal.
"Benar, tapi ada untuk bos-bos juga; tapi untuk upload dokumen saja Rp 1 juta," jawab Isfi.
"Tapi, Saudara, selain dari Marcos, dapat juga dari kontraktor?" tanya JPU Zainal lagi.
"Iya, dapat dari dua pihak," jawab Isfi.
Dalam dakwaan, Muara Perangin Angin disebut mendapatkan paket pekerjaan penunjukan langsung di Dinas PUPR, yaitu berupa paket pekerjaan hotmix senilai Rp 2,867 miliar; paket pekerjaan penunjukan langsung berupa rehabilitasi tanggul, pembangunan pagar, dan pos jaga; pembangunan jalan lingkar senilai Rp971 juta; serta paket pekerjaan penunjukan langsung berupa pembangunan SMPN 5 Stabat dan SMP Hangtuah Stabat senilai Rp940,558 juta.
Pada 17 Januari 2022, Muara menemui Marcos dan Isfi untuk meminta pengurangan commitment fee menjadi 15,5 persen dan disetujui oleh Iskandar, sehingga total yang harus diserahkan oleh Muara sejumlah Rp572.221.414 dan dibulatkan menjadi Rp572 juta.
Pada 18 Januari 2022, Muara menyerahkan uang sebesar Rp572 juta yang dibungkus plastik hitam kepada Isfi Syahfitra.
Pada hari yang sama, Isfi dan Shuanda menyerahkan Rp572 juta kepada Marcos untuk diberikan kepada Terbit Rencana Perangin Angin melalui Iskandar.
Mereka diamankan petugas KPK beserta barang bukti uang.