Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Omar Sharief Hiariej memastikan kembali isi pasal tentang penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden di Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKHUP).
Dalam aturan yang tertuang di Pasal 218 RKUHP itu, kata Eddy merupakan delik aduan.
"Terkait penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, jadi kami memberikan penjelasan bahwa ini adalah perubahan dari delik yang bersifat tadinya delik biasa menjadi delik aduan," kata Eddy dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI yang digelar Rabu (25/5/2022).
Kata Eddy, dengan masuknya aturan tersebut dalam delik aduan, maka bukan berarti pemerintah mengembalikan pasal penghinaan presiden yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: DPR dan Pemerintah Target Sahkan RKUHP Bulan Juli 2022
Sebab kata dia, ada perbedaan terkait pasal yang pernah dihapus MK dengan aturan pasal yang ada di RKUHP.
Sebagai informasi, MK sebelumnya pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden di KUHP melalui putusan Nomor 031-022/PUU-IV/2006.
"Jadi sama sekali kami tidak membangkitkan pasal yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi, justru berbeda," kata Eddy.
"Kalau yang dimatikan Mahkamah Konstitusi itu adalah delik biasa, sementara yang ada dalam RUU KUHP ini adalah delik aduan," tukasnya.
Terakhir kata Eddy, dalam RKUHP juga ditambahkan penjelasan bahwa pengaduan terkait pasal tersebut harus dilakukan langsung oleh presiden maupun wakil presiden secara tertulis.
Baca juga: Pemerintah Akomodir 14 Aturan Krusial di RUU KUHP, 2 Lainnya Diusulkan Dihapus
Berdasarkan draf RUU KUHP yang didapatkan Tribunnews.com, hal itu termaktub pada Bab II yang mengatur Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Awalnya diatur pasal yang akan dikenakan kepada orang yang menyerang diri presiden maupun wakil presiden. Ancaman pidana lima tahun menanti bagi yang melanggar pasal ini.
Hal itu tercantum dalam Pasal 217 yang berbunyi :
Pasal 217
Setiap orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Kemudian pasal yang menjerat orang apabila menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden maupun wakil presiden tercantum dalam Pasal 218. Pasal itu berbunyi:
Pasal 218
(1) Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Sementara pasal 219 yakni mengatur tentang gambar atau biasa dikenal dengan meme presiden di media elektronik atau media sosial.
Kemudian ada pula Pasal 219, dimana pasal itu mengatur pelanggaran pidana jika menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden maupun wakil presiden menggunakan tulisan atau gambar melalui sarana teknologi informasi.
Ancaman pidana paling lama yang dikenakan kepada pelanggar adalah hukuman bui selama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan. Pasal 219 tersebut berbunyi:
Pasal 219
Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Namun, dalam pasal selanjutnya dijelaskan bahwa tindakan pidana tersebut hanya bisa diproses hukum apabila ada aduan yang langsung dilakukan oleh presiden dan wakil presiden sendiri.
Pasal 220
(1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.
(*)