TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Aher mendesak agar temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai kejanggalan pengadaan alat tes antigen Covid-19 di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) periode 2020-2021 diinvestigasi.
Dikutip dari dpr.go.id, Netty menyebut negara mengalami kerugian yang tidak sedikit akibat pengadaan tersebut.
"Temuan BPK ini harus diinvestigasi karena sudah melanggar sejumlah ketentuan yang berlaku."
"Disinyalir sebagian alat tes tersebut tidak memenuhi spesifikasi aspek kedaluwarsa," ungkap Netty, Senin (30/5/2022).
Netty mengungkapkan, pemerintah seharusnya cermat dalam melakukan kalkulasi pembelian agar tidak terjadi pemborosan anggaran.
Baca juga: Sosok AKBP Brotoseno, Eks Napi Korupsi yang Tak Dipecat, Diduga Masih Aktif Jadi Penyidik Bareskrim
Hal ini juga dinilai menabrak sejumlah aturan.
"Ini menabrak Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang pengadaan barang dan jasa di mana ada kewajiban bagi pihak yang terlibat pengadaan untuk mencegah pemborosan dan kebocoran uang negara," ujar politisi dari Fraksi PKS itu.
Lebih lanjut, merujuk laporan BPK, Netty menyebut pengadaan alat test Covid-19 oleh Kemenkes dilakukan secara kurang akurat.
Misalnya, dengan melakukan pembelian tanpa menghitung ketersediaan stok di seluruh daerah.
"Akhirnya terjadi kelebihan stok alat tes antigen pada periode itu. Kebutuhan hanya 14 juta unit, namun stok mencapai 18,33 juta unit," kata Netty.
Baca juga: Kejagung Tetapkan Pihak Swasta Jadi Tersangka Kasus Korupsi Impor Baja
Tidak hanya itu, Netty mengungkapkan adanya pengadaan oleh satu perusahaan yang sama juga menimbulkan tanda tanya.
Oleh karena itu, Netty mendesak pemerintah betul-betul melakukan investigasi temuan BPK tersebut.
"Perlu diselidiki apakah kejanggalan ini disengaja atau karena faktor kelalaian."
"Harus ada konsekuensi hukum dan penegakkan peraturan atas perkara ini. Jangan biarkan berlalu begitu saja," tegas Netty.
Untuk diketahui BPK menemukan sejumlah kejanggalan pada pengadaan alat rapid tes Covid-19 di Kemenkes.
Terdapat sembilan perusahaan mengempit proyek senilai Rp 1,46 triliun yang dinilai menyalahi kontrak.
Mulai dari kelebihan pembayaran, pemborosan, dan tidak sesui dengan syarat spesifikasi kedaluwarsa.
Baca juga: Desak KPK Selidiki Dugaan Korupsi Ahmad Sahroni, Pengacara Adam Deni: Kasihan Nasib Orang Digantung
BPK Serahkan Dokumen ke DPR
Sementara itu Ketua BPK, Isma Yatun, menyerahkan secara langsung Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2021 kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Puan Maharani, dilansir laman BPK.
Penyerahan dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR, di Gedung Nusantara II DPR, Jakarta, Selasa (24/5/2022) lalu.
Ketua BPK dalam sambutannya mengungkapkan IHPS II Tahun 2021 ini memuat ringkasan dari 535 laporan hasil pemeriksaan (LHP), yang terdiri atas 3 LHP Keuangan, 317 LHP Kinerja, dan 215 LHP Dengan Tujuan Tertentu.
BPK mengungkap 4.555 temuan yang memuat 6.011 permasalahan sebesar Rp31,34 triliun.
Baca juga: KPK Tahan Hasanuddin Ibrahim Eks Dirjen Hortikultura Dalam Kasus Korupsi Pengadaan Pupuk Hayati
Sebanyak 53 % atau 3.173 dari permasalahan tersebut berkaitan dengan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan (3E) sebesar Rp 1,64 triliun.
Kemudian 29 % atau 1.720 permasalahan merupakan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebesar Rp 29,70 triliun, dan sebanyak 18 % atau 1.118 permasalahan terkait Kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI).
"Sehubungan dengan permasalahan 3E, 95,9 % atau sebanyak 3.043 permasalahan merupakan ketidakefektifan sebesar Rp218,56 miliar, 127 permasalahan ketidakhematan sebesar Rp1,42 triliun dan 3 permasalahan ketidakefisienan sebesar Rp1,59 miliar," jelas Isma Yatun.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto)