Laporan wartawan Tribunnews.com, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai politik (parpol) yang menolak revisi Undang-Undang (UU) Pemilu, terkhususnya parpol besar disebut oleh Akademisi Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI), Hurriyah, terjebak dalam zona nyaman.
Padahal jika dilihat dari perspektif publik, menurut Hurriyah ada banyak catatan dan persoalan yang dikritik oleh publik terkait UU Pemilu di mana UU tersebut banyak menguntungkan parpol besar.
Misalnya, Hurriyah menjelaskan tentang penyempitan ruang kompetisi.
"Bisa kita lihat di UU Pemilu aturan soal parelementery threshold, aturan presidential treshold, aturan soal kuota perempuan. Ini kan juga merupakan upaya untuk mempersempit kompetisi," ujarnya, Rabu (1/6/2033).
Penyempitan kompetisi ini tentu tak hanya menyasar kompetisi antar partai besar dan partai kecil tapi juga partai baru dengan partai lama, dan politisi laki-laki dengan politisi perempuan.
Hurriyah sebut hal ini sebagai zona nyaman karena dengan tak direvisinya UU maka agenda-agenda politik partai besar dapat terakomodir. Apalagi mengingat UU adalah produk politik, kepentingan politik pembuat kebijakan besar.
Sekadar informasi, Wacana pro dan kontra di kalangan partai politik soal revisi UU Pemilu terkait dengan beberapa hal.
Baca juga: Singkatnya Masa Kampanye Pemilu 2024 Diharapkan Tak Bikin Masif Praktik Politik Uang
Salah satu isu yang menjadi perdebatan adalah pengembalian jadwal pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Sebagian fraksi mendukung Pilkada lebih baik diadakan serentak pada November 2024, yang artinya sesuai dengan Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 tahun 2016.
Di sisi lain, beberapa fraksi menginginkan pelaksanaan pilkada diubah, sesuai ketentuan dalam draf revisi UU Pemilu Pasal 731 ayat (2) dan (3), yakni pada 2022 dan 2023.