Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penelitian Indonesia Judicial Research Society (IJRS) menemukan disparitas pemidanaan perkara narkotika selama 2016 sampai 2020 berada di atas 60 persen.
Penelitian yag dilakukan bertajuk Disparitas dan Kebijakan Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika di Indonesia: Studi Perkara Tindak Pidana Narkotika Golongan I tahun 2016-2020 (Pasal 111-116 dan pasal 127 UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009).
Disparitas pemidanaan sendiri dapat dimaknai sebagai perbedaan penjatuhan hukuman pidana terhadap perkara-perkara yang memiliki karakteristik serupa.
Namun demikian, Peneliti IJRS Matheus Nathanael dalam paparannya menyatakan disparitas pemidanaan tidak selalu bermakna negatif atau tidak adil.
Contohnya, kata dia, putusan terhadap perkara pencurian ternak di Jakarta dengan di Papua berbeda putusan pidananya karena ada pertimbangan perbedaan harga ternak di Jakarta dan Papua.
Karena itu, kata dia, angka disparitas dalam penelitian IJRS yang dipaparkannya hanya menunjukkan kenyataan di lapangan.
Baca juga: Tuntutan Jaksa Berpengaruh Kuat Tentukan Berat Ringan Pidana Pada Perkara Narkotika
Sedangkan untuk melihat disparitas tersebut berdasar atau tidak harus dilakukan pendalaman terhadap kasus per kasus.
Dalam penelitian tersebut, kata dia, ada empat kriteria perkara tindak pidana narkotika serupa yang digunakan.
Empat kriteria tersebut yakni kesamaan peran terdakwa, kesamaan jenis barang bukti narkotika, kesamaan berat barang bukti narkotika, dan kesamaan pasal tindak pidana narkotika yang terbukti.
Apabila ada kesamaan dari empat kriteria tersebut, lanjut dia, maka peneliti menganggap perkara tersebut serupa.
Baca juga: Jaksa Agung: Mayoritas Narapidana Penyalahgunaan Narkotika di Lapas Bukan Bandar atau Pengedar
Hal tersebut disampaikannya dalam Diseminasi Hasil Penelitian Disparitas dan Kebijakan Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika di Indonesia yang digelar Indonesia Judicial Research Society (IJRS) di kanal Youtube IJRS TV pada Selasa (28/6/2022).
"Ternyata untuk kasus peredaran gelap narkotika ada disparitas 65,8 % . Jadi perkara serupa tadi kita kumpulkan, lalu kita bandingkan, ternyata ada disparitas 65,8 % ," kata Matheus.
Dari 65,8 % disparitas tersebut, lanjut dia, kemudian dibedah lagi untuk melihat sebaran rentang disparitas pemidanaan penjara atau perbedaan besaran pidana penjara untuk perkara peredaran gelap narkotika yang serupa.
Dari data yang dipaparkannya, penelitian menunjukkan sebanyak 24 % perbedaan hukumannya 0-1 tahun, 20,0 % perbedaan hukumannya 1-2 tahun, 24 % perbedaan hukumannya 2-3 tahun, 16,0 % perbedaan hukumannya 3-4 tahun, 8,0 % perbedaan hukumannya 4-5 tahun, 4,0 % perbedaan hukumannya lebih dari 6 tahun, dan 4,0 % tidak dapat dilihat selisihnya.
Baca juga: BNN Provinsi Banten Musnahkan Sabu 470 Gram Hasil Penggagalan Peredaran Narkotika
"Jadi bayangkan, perkaranya perannya sama, misalnya sama-sama pengedar, sama-sama penjual, sama-sama sabu, sama-sama 5 gram, tapi yang satu dihukum 5 tahun dan yang satu lagi dihukum 10 tahun, misalnya seperti itu. Ini yang coba kita bedah," kata dia.
Penelitian tersebut, kata dia, juga menunjukkan disparitas pemidanaan penjara pada perkara penyalahgunaan narkotika yang serupa sebanyak 63,6 % .
Penelitian juga menunjukkan sebaran rentang disparitas pemidanaan atau perbedaan besaran pidana penjara untuk perkara penyalahguna narkotika yang serupa.
Dari data yang dipaparkannya, penelitian menunjukkan sebanyak 7 % perbedaan hukumannya lebih dari 30 bulan, 5,4 % perbedaan hukumannya 25-30 bulan, 8,9 % perbedaan hukumannya 20-25 bulan, 17,9 % perbedaan hukumannya 15-20 bulan, 16,1 % perbedaan hukumannya 10-15 bulan, 23,2 % perbedaan hukumannya 5-10 bulan, 17,9 % perbedaan hukumannya 1-5 bulan, dan 3,6 % tidak dapat diperbandingkan.
Hal yang menarik dari penelitian tersebut, lanjut dia, di antaranya terkait dengan opsi pemidanaan penyalahguna narkotika.
Ia mengatakan ada sejumla opsi pemidanaan yang sebenarnya bisa diterapkan kepada penyalahguna narkotika di antaranya rehabilitasi, penjara, dan rehabilitasi sekaligus penjara.
Namun demikian, kata dia, hasil penelitian menunjukkan ternyata ada dua terdakwa yang perkaranya sama namun pidananya beda.
Misalnya, lanjut dia, dua terdakwa yang sama-sama pecandu, barang bukti narkotikanya sama-sama sabu, berat barang bukti narkotikanya sama-sama 0,2 gram.
Namun demikian, penelitian menunjukkan temuan dua terdakwa berbeda dapat dijatuhi hukuman yang berbeda misalnya ada yang hanya dipenjara dan yang lainnya direhabilitasi sekaligus dipenjara.
"Ada yang sama-sama penyalahguna sabu 0,12 gram, sembilan dipenjara dan satu direhabilitasi. Jadi kalau kita lihat aja bentuknya sudah beda. Ada penjara, ada rehabilitasi, serta ada penjara dan rehabilitasi," kata Matheus.
"Ini yang kita lihat ada inkonsistensi. Jadi sebenarnya yang benar yang mana? Menafsirkan UU yang barangkali lebih tepat sebenarnya yang mana? Karena cukup beragam," lanjut dia.
Dalam materi paparan yang ditampilkannya ada sejumlah hal yang menjadi latar belakang penelitian tersebut.
Pertama, perkara narkotika merupakan beban perkara terbanyak diperiksa dan diadili dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Kedua, inkonsistensi penerapan hukum serta penjatuhan hukuman yang tidak berdasar sangat rentan terjadi pada perkara narkotika.
Ketiga, perkara narkotika juga berdampak dan bersinggungan langsung dengan banyak pencari keadilan dan kerap kali menjadi sorotan masyarakat.
Penelitian tersebut membedah dua hal.
Pertama, fenomena disparitas pemidanaan pada perkara narkotika.
Kedua, fenomena inkonsistensi penerapan hukum pada perkara narkotika.
Penelitian tersebut meneliti putusan perkaea narkotika yang diambil dari direktori putusan Mahkamah Agung tahun 2016 sampai 2020.
Lingkup penelitian tersebut ada dua yakni peredaran gelap narkotika khusus Golongan I (Pasal 111-116 UU Narkotika) dan penyalahguna (pasal 127 UU Narkotika).
Narkotika Golongan I dijadikan objek penelitian karena merupakan perkara paling banyak.