Menurut Kurnia, keganjilan KPK dalam menangani perkara Harun sebenarnya sudah tampak jelas dan terang benderang, bahkan sejak proses penyelidikan.
Mulai dari pimpinan KPK bergeming tatkala pegawainya diduga disekap di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), ketidakjelasan tindakan penggeledahan di kantor PDIP, pemulangan paksa penyidik Rossa Purbo Bekti, hingga penyingkiran tim pencari Masiku melalui tes wawasan kebangsaan (TWK).
"Akibatnya, masyarakat berasumsi bahwa sejak awal pimpinan KPK memang tidak memiliki niat untuk menuntaskan penanganan perkara ini dan membiarkan Masiku serta pejabat teras partai politik tak tersentuh hukum," ujar Kurnia.
Alih-alih menjalankan tugas pengawasan yang tegas, Kurnia menilai Dewan Pengawas pun turut mendiamkan kejanggalan KPK.
Padahal, dijelaskannya, Pasal 37B ayat (1) huruf a dan f Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 telah memberikan ruang bagi Dewas untuk terlibat aktif mengawasi seluk beluk pekerjaan KPK, termasuk dalam ranah penindakan.
Sehingga menurut Kurnia, dengan pasifnya Dewas, dapat dikatakan lembaga baru KPK itu turut menjadi bagian yang melemahkan komisi antikorupsi.
"Untuk itu, atas segala problematika pencarian Masiku maka selayaknya pimpinan KPK, terutama Firli segera berhenti dengan cara mengundurkan diri. Terlebih, selama ini citra KPK juga terus menerus merosot di mata masyarakat pada masa kepemimpinannya," katanya.
Harun Masiku dijadikan tersangka oleh KPK karena diduga menyuap mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, supaya bisa ditetapkan sebagai pengganti Nazarudin Kiemas yang lolos ke DPR, tetapi meninggal dunia.
Harun diduga menyiapkan uang sekira Rp850 juta untuk pelicin agar bisa melenggang ke Senayan.
Harun sudah menghilang sejak operasi tangkap tangan (OTT) kasus ini berlangsung pada Januari 2020.
Tim penyidik KPK terakhir kali mendeteksi keberadaan Harun di sekitar PTIK.
KPK lantas memasukkan Harun Masiku sebagai daftar buronan pada 29 Januari 2020.