Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Pencegahan Badan Nasional Pelanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Ahmad Nur Wahid menegaskan dan membenarkan telah menerima laporan dari PPATK terkait informasi transaksi mencurigakan ACT yang diduga terkait kegiatan jaringan terorisme.
Sesuai tugas dan fungsinya, Nur Wahid menjelaskan BNPT telah menindaklanjuti data-data tersebut dengan mendalami, mengoordinasikan dan memafasilitasi aparat penegak hukum dari hasil analisa transaksi keuangan ACT.
Tentunya, kata dia, baik yang ditujukan kepada individu maupun organisasi yang terlibat dalam jaringan terorisme di dalam maupun di luar negeri.
"Untuk pendalaman kajian lebih lanjut, BNPT akan menjalin kerjasama dengan counterpart untuk menelusuri dugaan transaksi untuk individu maupun organisasi yang terlibat terorisme," kata Nir Wahid dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com, Jumat (8/7/2022).
Baca juga: Eks Presiden ACT Ahyudin Ngaku Dicecar Seputar Legal Yayasan oleh Penyidik Bareskrim Polri
Diketahui bersama, beberapa waktu lalu Densus 88 AT Polri mengungkapkan adanya modus jaringan pendanaan teror yang menggunakan cover lembaga-lembaga kemanusiaan.
Dalam pendanaan terorisme, kedok lembaga amal di tengah masyarakat menjadi sumber dana yang signifikan dalam penguatan jaringan radikal terorisme.
Makin maraknya kelompok radikal terorisme di Indonesia memanfaatkan lembaga amal dan filantropi untuk penggalangan dana ini juga terkait dengan konteks masyarakat Indonesia yang terkenal dengan kedermawanan sosial yang cukup tinggi.
Dalam data World Giving Index tahun 2021, masyarakat Indonesia dikenal sebagai Negara dengan tingkat kedermawanan paling tinggi.
Potensi ini justru menjadi celah yang dimanfaatkan kelompok radikal dan teror untuk menggalang dana dengan modus donasi dan amal.
Karena itulah, Nur Wahid memaparkan, ada lima hal yang penting dilakukan.
Pertama, mendorong dan memfasilitasi aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap berbagai lembaga amal yang diduga terkait kelompok teror atau kelompok radikal.
Kedua, memperketat regulasi terkait pendanaan publik oleh lembaga-lembaga amal.
Selama ini pengumpulan dana umat hanya diatur oleh UU Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.
Dua peraturan ini hanya mengatur soal sistem birokrasi perijinan.
"Belum ada aturan soal akuntabilitas dan sanksi jika terjadi kecurangan atau penyelewengan dan penyalahgunaan dana," terangnya.
Ketiga, kata Nur Wahid, karena pemantauan lembaga amal ini berada di bawah Kementerian Sosial, perlu kerjasama dengan Kementerian Sosial dan kementrian terkait untuk membuat peraturan baru yang bisa menutup celah modus penggalangan dana melalui donasi dan filantropi.
Keempat, hal yang bisa segera dilakukan saat ini adalah melakukan sosialisasi terkait dengan lembaga-lembaga amal atau donasi yang terkait dengan kelompok teror kepada para stakeholder yang memantau berbagai lembaga amal tersebut.
"Kelima, tentu saja melakukan edukasi terhadap masyarakat untuk lebih jeli dan selektif dalam memilih lembaga amal dan donasi. Partisipasi pengawasan dan pemantauan masyarakat juga menjadi penting agar dana umat dan dana kemanusiaan lainnya yang bertujuan mulia tersebut tidak diselewengkan dan disalahgunakan untuk kepentingan aktfiitas yang melanggar hukum," paparnya.
BNPT juga turut menghimbau kepada masyarakat untuk melakukan donasi ke lembaga-lembaga resmi dan kredibel serta direkomendasi pemerintah.
"Termasuk saluran donasi ke luar negeri melalui kementerian luar negeri atau lembaga yang direkomendasi kementerian luar negeri," pungkas Nur Wahid.