TRIBUNNEWS.COM - Melalui orasi ilmiah ‘Qua Vadis Hukum Pelaksanaan Pidana Indonesia?’, Guru besar ilmu hukum program pascasarjana UKI Prof. Dr. Mompang Lycurgus Panggabean, S.H., M.Hum, menggarisbawahi permasalahan hukum pidana yang ada di masyarakat dan penyelesaiannya.
“Tidak semua masalah hukum pidana yang ada di dalam masyarakat dapat diselesaikan dengan KUHP sebagai hukum pidana substansial. Sering terjadi permasalahan dalam dinamika kehidupan masyarakat tidak dapat dituntaskan oleh substansi hukum berupa KUHP,” ujarnya di acara pengukuhan dirinya menjadi Guru Besar Ilmu Hukum Program Pascasarjana UKI, di Auditorium Grha William Soeryadjaya, UKI Cawang, Jumat (06/07/2022).
Prof. Mompang mengatakan perlu adanya pembaruan dari hukum yang ada di Indonesia, terutama karena KUHP peninggalan Belanda sudah ketinggalan zaman. “KUHP peninggalan Belanda sebagai induk peraturan perundang-undangan pidana yang dipandang sudah ketinggalan jaman. Hukum pelaksanaan pidana di Indonesia yang masih tersebar di sana sini tak jarang menimbulkan persoalan dalam pelaksanaan pidana dan tindakan tata tertib sebagai double track system terhadap kasus yang diputus pengadilan,” jelas Prof. Mompang.
Lebih lanjut, katanya, pembaruan hukum harus dilihat berdasarkan keseluruhan hukum yang berlaku. Hal ini pun harus dibarengi dengan hukum pidana formal beserta aparatur yang termasuk dalam kesatuan sistem hukum.
“Pembaruan hukum pidana meliputi perubahan hukum pidana material, dibarengi oleh pembaruan hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana berikut aparatur penegak hukum pendukung bekerjanya sistem hukum, sehingga perubahan dalam peraturan pidana harus dilihat dalam bekerjanya keseluruhan sistem hukum pidana itu,” tambahnya.
Ketiga bidang hukum pidana tersebut harus bersama-sama diperbarui, jika tidak, maka akan terdapat kesulitan dalam pelaksanaannya dan tujuan pembaruan tak bisa tercapai sepenuhnya.
Saat ini pembaruan KUHP dan KUHAP terus dilakukan, meskipun dinamika sosial yang terjadi memperlihatkan masih ada penentangan terhadap pengesahan RUU KUHP dengan berbagai alasan.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana nasib kodifikasi hukum pelaksanaan pidana selain hukum pidana materiil dan hukum pidana formil yang sudah dikodifikasikan?
Jawabannya, menurut Prof. Mompang harus dilakukan unifikasi terhadap substansi, struktur, dan budaya hukum pelaksanaan pidana yang diarahkan pada tujuan nasional yang diwujudkan dalam pembangunan hukum nasional berlandaskan pembangunan konsep nilai yang dibangun dengan paradigma budaya dilandasi dasar negara Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Substansi hukum yang baik diupayakan dan didukung struktur hukum yang handal. Penegak hukum dibantu untuk meningkatkan kompetensi dengan pelatihan-pelatihan. Kita harus melihat budaya hukum dibangun, mulai dari pendidikan hukum di tingkat Sekolah Dasar, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi,” ujarnya.
UKI meraih akreditasi ‘Unggul’
Pada kesempatan yang sama, Rektor UKI, Dr. Dhaniswara K. Harjono, S.H., M.H., MBA, menjelaskan bahwa fungsi perguruan tinggi adalah untuk menghasilkan Guru Besar yang berkiprah untuk kesejahteraan masyarakat di bidang Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Ia juga menjelaskan bahwa Guru Besar yang dikukuhkan ini bukan hanya untuk UKI saja tapi juga untuk Indonesia.
Dr. Dhaniswara juga mengungkapkan, tepat pada tanggal 28 Juni 2022 lalu, UKI meraih akreditasi Unggul. Dirinya beserta jajaran menyambut dengan sukacita atas berita baik tersebut.
“Dengan predikat ini, kami ingin berbuat yang lebih baik lagi sehingga memberikan manfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.”
Ke depannya, melalui kiprah dari para Guru Besar yang dilantik, diharapkan dapat menjadi teladan dan lumbung prestasi bagi UKI.
“Kami berharap Guru Besar dapat menjadi teladan bagi seluruh civitas academica UKI dan menorehkan prestasi bagi kita semua. Saya ucapkan sukses dan selamat kepada Prof. Dr. Mompang Lycurgus Panggabean, S.H., M.Hum,” ujar Rektor UKI, Dr. Dhaniswara.