Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut pemecatan AKBP Raden Brotoseno harus dijadikan pelajaran bagi seluruh jajaran anggota kepolisian, terutama Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, agar tak ada lagi menolerir praktik korupsi di tubuh Polri.
Namun bagi ICW pemecatan Brotoseno bukan merupakan babak akhir pemberantasan korupsi di lembaga kepolisian.
"Mestinya Kapolri dapat menjadikan peristiwa itu sebagai momentum untuk lebih giat dan serius memberantas korupsi di internal Polri," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Jumat (15/7/2022).
Baca juga: Sekelumit Perjalanan Kasus AKBP Raden Brotoseno Hingga Dipecat dari Polri
Untuk memitigasi peristiwa Brotoseno berulang, ICW merekomendasikan Kapolri agar segera berkoordinasi dan mendorong pemerintah merevisi ketentuan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) anggota Polri yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 (PP 1/2003) tentang Pemberhentian Anggota Polri.
"Sebab, regulasi itu seolah menyamaratakan korupsi dengan pidana umum lain dan juga menafikannya sebagai suatu kejahatan luar biasa," jelas Kurnia.
Menurut ICW, ketentuan tersebut masih membuka celah bagi anggota Polri yang terlibat praktik korupsi, dalam hal ini Brotoseno, untuk dapat pengampunan melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) Kepolisian.
"Maka dari itu, ke depan, poin revisi PP 1/2003 harus menghapus syarat persidangan KKEP dalam klausula khusus yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yakni, Anggota Polri diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas kepolisian apabila dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi," kata Kurnia.
Di luar itu, guna menegaskan komitmen antikorupsi, ICW juga mendorong agar Kapolri membentuk tim khusus antikorupsi Polri dengan fungsi penegakan hukum yang bertugas menyelidiki dan menyidik anggota kepolisian diduga melakukan praktik korupsi.
Hal tersebut, menurut Kurnia, menjadi penting agar kemudian lembaga penegak hukum seperti Polri dapat terbebas dari praktik korupsi.
Berkaca pada peristiwa Brotoseno, ICW mengingatkan kepada Polri agar lebih responsif terhadap kritik, masukan, dan pertanyaan dari masyarakat.
Sebab, isu Brotoseno sudah ICW tanyakan melalui surat resmi ke kepolisian sejak bulan Januari lalu, tapi hingga akhir Mei tidak kunjung dibalas.
"Jadi, dapat kami simpulkan bahwa Polri lambat dan baru bergerak jika suatu permasalahan viral terlebih dahulu di tengah masyarakat," kata Kurnia.
Adapun hasil putusan KKEP PK Brotoseno memutuskan untuk memberatkan dan memberikan sanksi administratif berupa
PTDH.
Hasil putusan itu berdasarkan dari sidang KKEP PK yang dilaksanakan pada Jumat (8/7/2022) pukul 13.30 WIB. Adapun nomor putusan KKEP PK tersebut PUT KKEP PK/1/VII/2022.
Kasus Korupsi AKBP Brotoseno
AKBP Raden Brotoseno yang pernah menjabat sebagai Kepala Unit III Subdit III Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima suap sebesar Rp1,9 miliar dari proses penyidikan tindak pidana korupsi cetak sawah di daerah Ketapang, Kalimantan Barat, pada 2016.
Terkait kasus itu, hakim pengadilan memvonis Brotoseno selama 5 tahun penjara dan dinyatakan bebas bersyarat pada 15 Februari 2020.
Setelah dinyatakan bebas, Brotoseno dapat kembali bertugas di kepolisian karena hasil sidang kode etik pada 2020 memutuskan dia tidak dipecat dari Polri.
Ia bertugas sebagai staf di Divisi Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (Div TIK) Polri.
Berdasarkan hasil sidang kode etik yang dibagikan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, Brotoseno tidak dipecat karena memiliki prestasi berdasarkan pernyataan dari atasannya.
Brotoseno saat itu diberi sanksi untuk meminta maaf kepada atasan dan mendapat rekomendasi untuk dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat demosi.