Karena itu ada pepatah Arab mengatakan, salâmatul insan fî hifdhil lisân (keselamatan seseorang tergantung pada lisannya).
Melalui kata-kata, seseorang bisa menolong orang lain.
Dan lewat kata-kata pula seseorang bisa menimbulkan kerugian tak hanya bagi dirinya sendiri tapi juga bagi orang lain.
Karena saking krusialnya, Islam bahkan hanya memberi dua pilihan terkait fungsi lisan: untuk berkata yang baik atau diam saja.
Seperti bunyi hadits riwayat Imam al-Bukhari:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَــقُلْ خَـيْرًا أَوْ لِيَـصـمُــتْ
"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam."
Rasulullah mendahuluinya dengan mengungkapkan keimanan sebelum memperingatkan tentang bagaimana sebaiknya lisan digunakan.
Keimanan adalah hal mendasar bagi umat Islam. Ini menunjukkan bahwa urusan lisan bukan urusan main-main.
Hadits di atas bisa dipahami sebaliknya (mafhum mukhalafah) bahwa orang-orang tak bisa berkata baik maka patut dipertanyakan kualitas keimanannya kepada Allah dan hari akhir.
Ini menarik karena lisan ternyata berkaitan dengan teologi.
Kenapa dihubungkan dengan keimanan kepada Allah dan hari akhirat?
Hal ini tentang pesan bahwa segala ucapan yang keluarkan manusia sejatinya selalu dalam pengawasan Allah.
Ucapan itu juga mengandung pertanggungjawaban, bukan hanya di dunia melainkan di akhirat pula.