TRIBUNNEWS.COM - Komisioner KPU RI Yulianto Sudrajat mengungkapkan alasan mengapa hingga kini sistem pemungutan suara dalam Pemilu Indonesia masih menggunakan sistem mencoblos bukan e-voting seperti yang dilakukan banyak negara lainnya.
Yulianto menyebut KPU adalah lembaga yang regulasinya sebagai pelaksana undang-undang.
Sehingga KPU hanya bisa melaksanakan tugasnya berdasarkan apa yang tercantum dalam undang-undang.
"Terkait regulasi sebenarnya KPU posisinya sebagai pelaksana undang-undang, jadi undang-undangnya begitu ya kami laksanakan. Karena kami lembaga negara yang pada wilayah pelaksana undang-undang," kata Yulianto dalam Diskusi Publik Pemilu Serentak 2024 yang ditayangkan di kanal YouTube Tribunnews, Kamis (21/7/2022).
Maka jika ada keinginan untuk menggunakan e-voting dalam Pemilu, KPU membutuhkan adanya perubahan undang-undang penyelenggaraan pemilu, yakni UU Nomor 7 Tahun 2017.
Namun sayangnya hingga kini pemerintah dan DPR telah sepakat untuk tidak mengubah UU Nomor 7 Tahun 2017 tersebut.
Baca juga: Pengamat Sebut Banyaknya Lembaga Penyelesaian Hukum Pemilu Jadi Problem Indonesia di Pemilu 2024
"Maka sebenarnya ada kebutuhan-kebutuhan perubahan undang-undang di dalam penyelenggaraan Pemilu di 2024 besok itu. Tapi kan pemerintah dan DPR sudah sepakat bahwa sampai sekarang UU Nomor 7 Tahun 2017 itu tidak diubah," tegas Yulianto.
Jika nantinya KPU tetap memaksakan menggunakan sistem e-voting dalam Pemilu, maka KPU bisa saja digugat oleh sejumlah pihak karena tidak mengikuti aturan undang-undang.
Sehingga Yulianto merasa KPU tidak bisa melakukan apa-apa selama undang-undang tentang Pemilu tidak diubah.
"Seperti KPU membutuhkan dukungan dalam hal sistem teknologi informasi, biar tidak digugat oleh pihak-pihak lain, nanti juga kita berat lagi. Misalnya ada kebutuhan e-counting, kemudian bahkan e-voting."
Baca juga: Bawaslu Ingatkan Semua Pihak Tahan Diri Tak Kampanyekan Calon Tertentu di Luar Tahapan Pemilu
"Tetapi semua sistem pemungutan suara harus dilakukan dengan cara mencoblos, itu kan ada di undang-undang. Sepanjang undang-undang itu belum diubah kan KPU tidak bisa melakukan apa-apa. Artinya kami pada posisi pelaksana undang-undang," terang Yulianto.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Pengamat Hukum Tata Negara, Agus Riwanto.
Agus juga menilai jika KPU sulit menerapkan sistem e-voting di Indonesia.
Pasalnya konstitusi yang ada di Indonesia tidak mengatur soal itu.
Baca juga: Lolly Suhenty Paparkan Tantangan Sekaligus Target Bawaslu Menuju Pemilu 2024
Jika KPU tetap nekat, maka akan berujung pada penggugatan, bahkan bisa juga berujung pada pembatalan Pemilu.
"Agak sulit KPU kalau membuat e-voting karena konstitusi dan undang-undang tidak mengatur soal itu. Kalau KPU bikin misalnya e-voting ini dipaksakan, kalau ada partai yang kalah, dia bilang KPU ngawur."
"Undang-undang enggak ada pakai elektronik, kok KPU pake elektronik. Pemilu bisa batal, karena undang-undang tidak diubah, itu masalahnya," kata Agus.
Baca juga: Bawaslu Ingatkan KPU agar Masalah Sipol Tak Terulang di Pemilu 2024
Penerapan e-voting Tanpa Kajian Dipastikan Munculkan Ketidakpercayaan Hasil Pemilu
Diwartakan Tribunnews.com sebelumnya, Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif menyampaikan meski usulan penerapan elektronik voting dinilai bisa sangat menghemat anggaran, namun e-voting tanpa didahului kajian matang dan regulasi kuat, dipastikan berdampak pada ketidakpercayaan publik atas hasil pemilu.
Hal ini disampaikan Koordinator Harian KoDe Inisiatif, Ihsan Maulana menanggapi usulan Ketua Majelis Syuro Partai Ummat Amien Rais terkait penerapan e-voting berbasis blockchain.
"Meski dinilai dapat menghemat anggaran, penggunaan e-voting tanpa didahului dengan kajian yang matang, regulasi yang kuat, akan berdampak pada distrust publik terhadap hasil Pemilu," kata Ihsan kepada Tribunnews.com, Sabtu (4/6/2022).
Baca juga: 3 Cara Bawaslu Cegah Pelanggaran dan Sengketa dalam Proses Tahapan Verifikasi Parpol Pemilu 2024
Ihsan mengatakan bahkan sejumlah negara yang sebelumnya sudah menerapkan e-voting justru meninggalkannya lantaran dinilai tak efektif dan efisien.
Penerapan e-voting juga disebut justru berdampak pada masalah yang lebih luas lagi.
"Beberapa negara yang sudah menggunakan e-voting saja mulai meninggalkannya karena dinilai tidak efektif dan efisien serta berdampak pada hal yang lebih luas," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani/Danang Triatmojo)