TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polisi akhirnya menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Setidaknya ada sejumlah nama yang menjadi tersangka dalam kasus ini, yakni Ahyudin selaku mantan pemimpin ACT, Presiden ACT Ibnu Khajar, Hariyana Hermain (HH) yang disebut sebagai salah satu Pembina ACT dan memiliki jabatan tinggi lain di ACT, serta NIA
Demikian hal ini dijelaskan oleh Karo Penmas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Senin (25/7/2022).
Brigjen Ahmad Ramdhan mengatakan pihaknya juga telah memeriksa sejumlah saksi termasuk ahli.
Dia kemudian menjelaskan soal perbuatan yang diduga oleh Ahyudin selaku mantan pemimpin ACT.
"Berdasarkan fakta hasil penyidikan bahwa saudara A yang memiliki peran sebagai pendiri dan ketua yayasan ACT dan pembina dan juga pengendali ACT dan badan hukum terafiliasi ACT," ujarnya.
Ramadhan juga menjelaskan soal perbuatan yang diduga dilakukan Presiden ACT Ibnu Khajar.
Dia menyebut Ibnu mendapat gaji dan berbagai fasilitas lain dari badan hukum yang terafiliafasi dengan ACT.
Ada juga Hariyana Hermain (HH) yang disebut sebagai salah satu Pembina ACT dan memiliki jabatan tinggi lain di ACT, termasuk mengurusi keuangan. Ada juga tersangka lainnya, yakni NIA.
Tiga Perkara yang Membelit ACT
Diberitakan sebelumnya, Bareskrim Polri mengungkapkan setidaknya masih ada 3 hal yang didalami terkait dugaan kasus penyelewengan donasi Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Whisnu Hermawan menyampaikan bahwa materi pemeriksaan yang pertama adalah pemakaian dana keluarga korban Lion Air yang tak sesuai peruntukannya.
Baca juga: Bareskrim Kembali Panggil Dua Petinggi ACT Ahyudin dan Ibnu Khajar Hari Ini, Total 5 Kali Diperiksa
"Pemeriksaan masih didalami terkait 3 hal. Pertama tentang masalah Lion, ada dugaan terkait dengan penggunaan Lion tidak sesuai dengan peruntukkannya," ujar Whisnu Hermawan saat dikonfirmasi, Jumat (15/7/2022).
Whisnu Hermawan menuturkan bahwa materi pemeriksaan kedua yang didalami berkaitan dengan pemakaian uang donasi yang tidak seusai sesuai informasi PPATK.
"Kedua masalah penggunaan uang donasi yang tidak sesuai dengan peruntukkannya yaitu terkait dengan informasi dari PPATK," jelas Whisnu.
Terakhir, kata Whisnu, pendalaman dugaan ACT menggunakan perusahaan baru sebagai cangkang. Namun dia tidak menjelaskan secara rinci terkait hal tersebut.
"Ketiga adanya dugaan menggunakan perusahaan-perusahaan baru sebagai cangkang dari perusahaan ACT. Ini didalami," ujarnya.
Adapun total sudah ada 12 orang saksi yang diperiksa dalam kasus penyelewengan dana CSR keluarga korban Lion Air JT-610 hingga Kamis (14/7/2022).
Diberitakan sebelumnya, kasus dugaan penyelewengan dana di lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) mulai menemukan titik terang.
Satu di antaranya ACT diduga menyelewengkan dana sosial keluarga korban Lion Air JT-610.
Adapun kasus ini pun telah ditingkatkan dari penyelidikan menjadi penyidikan. Namun begitu, belum ada pihak yang ditetapkan tersangka dalam kasus tersebut.
Diketahui, Lion Air JT-610 merupakan penerbangan pesawat dari Jakarta menuju Pangkal Minang. Namun, pesawat tersebut jatuh di Tanjung Pakis, Karawang pada 29 Oktober 2018 lalu.
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengungkapkan ACT mengelola dana sosial dari pihak Boeing untuk disalurkan kepada ahli waris para korban kecelakaan pesawat Lion Air Boeing JT610 pada tanggal 29 Oktober 2018 lalu.
"Dimana total dana sosial atau CSR sebesar Rp 138.000.000.000," kata Ramadhan dalam keterangannya, Sabtu (9/7/2022).
Dijelaskan Ramadhan, dugaan penyimpangan itu terjadi era kepemimpinan mantan Presiden ACT Ahyudin dan Ibnu Khajar yang saat ini masih menjabat sebagai pengurus.
Mereka diduga memakai sebagian dana CSR untuk kepentingan pribadi.
"Pengurus Yayasan ACT dalam hal ini Ahyudin selaku pendiri merangkap ketua, pengurus dan pembina serta saudara Ibnu Khajar selaku ketua pengurus melakukan dugaan penyimpangan sebagian dana social/CSR dari pihak Boeing tersebut untuk kepentingan pribadi masing-masing berupa pembayaran gaji dan fasilitas pribadi," jelas Ramadhan.
Ramadhan menjelaskan bahwa kepentingan pribadi yang dimaksudkan memakai dana sosial untuk kepentingan pembayaran gaji ketua, pengurus, pembina hingga staf di yayasan ACT.
"Pihak yayasan ACT tidak merealisasikan/menggunakan seluruh dana sosial/CSR yang diperoleh dari pihak Boeing, melainkan sebagian dana sosial/CSR tersebut dimanfaatkan untuk pembayaran gaji ketua, pengurus, pembina, serta staff pada Yayasan ACT dan juga digunakan untuk mendukung fasilitas serta kegiatan/kepentingan pribadi Ketua Pengurus/presiden Ahyudin dan wakil Ketua Pengurus/vice presiden," beber Ramadhan.
Ia menjelaskan ACT tak pernah mengikutisertakan ahli waris dalam penyusunan rencana maupun pelaksanaan penggunaan dana sosial atau CSR yang disalurkan oleh Boeing.
"Pihak Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) tidak memberitahu kepada pihak ahli waris terhadap besaran dana sosial/CSR yang mereka dapatkan dari pihak Boeing serta pengunaan dana sosial/CSR tersebut," kata Ramadhan.
Dalam kasus ini, polisi mendalami Pasal 372 jo 372 KUHP dan/atau Pasal 45A ayat (1) jo Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 5 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan/atau Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.