TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum konstitusi Bivitri Susanti mengungkapkan upaya menghidupkan PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara) melalui konvensi ketatanegaraan adalah tidak bisa diterima secara keilmuan.
Bivitri menganggap upaya penghadiran PPHN lewat konvensi ketatanegaraan seperti rekomendasi Badan Pengkajian MPR sebagai hal yang mengada-ada.
"Itu ngaco secara keilmuan. Mengada-ada banget. Memang salah satu sumber hukum tata negara adalah konvensi, tapi konvensi artinya praktik yang berulang-ulang kayak pidato presiden 17 Agustus. Tapi kalau mengubah suatu substansi, materi, muatan konstitusi atau UU, tidak ada," katanya kepada wartawan, Kamis (28/7/2022).
Sebelumnya, rapat Gabungan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI bersama pimpinan fraksi dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menyetujui rencana menghidupkan Pokok-Pokok Haluan Negara atau PPHN tanpa melalui amandemen UUD 1945 sebagaiman inisiasi Ketua MPR Bambang Soesatyo.
Baca juga: Fraksi Partai Golkar MPR Tolak Penetapan PPHN dengan Cara Konvensi Ketatanegaraan
Kendati demikian, partai-partai belum sepakat dengan bentuk payung hukum PPHN.
Adapun Fraksi Golkar menolak usul PPHN dihadirkan lewat konvensi ketatanegaraan seperti rekomendasi Badan Pengkajian MPR tersebut.
Bivitri menambahkan, konstitusi Indonesia memang sudah tidak lagi punya PPHN.
Dengan model pemilihan presiden langsung seperti sekarang, tidak ada haluan negara yang perlu diberikan kepada presiden karena presiden dipilih berdasarkan visi-misi.
"Saya juga orang yang tidak setuju. Karena saya kira argumen dasarnya itu memang konstitusi," ucapnya.
Menurutnya, konvensi ketatanegaraan itu adalah praktik ketatanegaraan yang berulang-ulang dan sudah diterima sebagai praktik.
"Konvensi ketatanegaraan tidak bisa mengubah konstitusi ataupun UU," tandasnya.