Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo menilai Indonesia sudah saatnya Indonesia memiliki Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dibuat sendiri.
Menurutnya, KUHP yang saat ini digunakan merupakan produk peninggalan kolonial Belanda.
Baca juga: Analisis Pasal 55 dan 56 KUHP, Guru Besar Hukum Pidana Unsoed: Pembunuhan Libatkan Beberapa Orang
"Kalau kita berpikir KUHP umurnya sudah lebih dari 100 tahun dan itu peninggalan kolonial Belanda. Jadi sudah masanya kita punya KUHP Nasional yang memang dibuat oleh orang-orang Indonesia," kata Hakristuti kepada wartawan, Jumat (5/8/2022).
Dirinya mendorong agar Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) segera disahkan. Hakristuti menerangkan, KUHP yang sekarang ini terdapat 628 pasal. Adapun, isinya lebih banyak pembaruan terhadap hukum pidana di Indonesia.
Sehingga penerapan sanksi pidana dinilai menjadi tidak terarah pada satu pola tertentu.
Menurutnya, hal itu dikarenakan setiap ada undang-undang, ada sanksi pidananya.
"Ini yang mau kita bereskan agar tidak terjadi bermacam-macam interpretasi, macam-macam pikiran, macam-macam sistem, jadi nanti hanya ada satu hukum pidana, itu yang penting, bukan pasal per pasal, tapi sistemnya dulu yang kita bangun. Itulah kenapa urgensi yang diperlukan sehingga mengapa RKHUP ini perlu mendapat perhatian semuanya," tuturnya.
Perbedaan antara RKUHP dengan KUHP yang sekarang, menurutnya, hanya bisa dirasakan oleh ahli hukum.
Sementara, orang awam hanya mengetahui RKUHP mengubah pasal-pasal penghinaan presiden, perzinaan, dan lain-lain.
Baca juga: Jadi Sorotan Dewan Pers, Ini Sederet Pasal di RUU KUHP yang Berpotensi Ancam Kemerdekaan Pers
"Orang awam tidak akan melihat apa sih perbedaannya, tapi bagi ahli hukum pasti lihat perbedaannya, bisa dibaca di 187 pasal tersebut," jelasnya.
"Intinya itu saya bilang ada tujuan pemidanaan, tujuan penjatuhan pidana, ada denda yang tidak dimasukan nominal misal denda Rp 5 juta, adanya denda kategori I, kategori VIII, itu pembaruan," tambahnya.
Meski begitu, Hakristuti menilai RKUHP belum sempurna karena masih buatan manusia.
Dirinya menilai pembahasan RKUHP harus dibahas oleh masyarakat.
"Jadi bukan harga mati," pungkasnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelar rapat internal terkait pembahasan Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa, (2/8/2022).
Baca juga: Wamenkumham Sebut Jutaan Orang Dipidana dengan KUHP yang Tidak Pasti
Menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD mengatakan RKUHP sudah hampir final dan sudah masuk tahap akhir pembahasan. Dari 700 pasal di dalam RKUHP, kini tinggal 14 pasal lagi yang masih diperdebatkan dan memerlukan pembahasan lebih lanjut.
“Mengapa dikatakan hampir final karena RUU KUHP ini mencakup lebih dari 700 pasal yang kalau diurai ke dalam materi-materi rinci bisa ribuan masalah tetapi sekarang masih ada beberapa masalah kira-kira 14 masalah yang perlu diperjelas,” kata Mahfud usai rapat.