Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dinilai telah melanggar amanat yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) 67/PUU-XIX/202 terkait penunjukan Penjabat (Pj) Kepala Daerah.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai Kemendagri telah melakukan pelanggaran hukum.
Kahfi Adlan Hafiz dari Perludem menyatakan peraturan penunjukkan Penjabat (Pj) Kepala Daerah sangat minim dan banyak yang sudah tidak relevan digunakan sekarang ini.
Sebab akan ada lebih banyak daerah dari tahun 2022-2024 yang akan dipimpin Pj Kepala Daerah, namun mekanisme penunjukkan Pj itu sendiri tidak jelas.
"Ini bukan hanya menjadi problem daerah, jangan sampai kita berpikir ini hanya problem daerah, tidak, ini juga jadi problem nasional," kata Kahfi di Diskusi Penunjukan Pj Kepala Daerah Pasca Rekomendasi Ombudsman, Kamis (4/8/2022).
Baca juga: Ombudsman RI Temukan Maladministrasi Dalam Penunjukan PJ Kepala Daerah oleh Kemendagri
Perludem memperkirakan akan ada banyak model dan kebijakan pengangkatan Pj Kepala Daerah yang dilakukan "di ruang-ruang yang gelap" yang tidak bisa diakses oleh publik.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai pihak pemerintah tidak menjalankan mandat keterbukaan informasi dan akuntabilitas dengan baik.
Pengaturan tentang Pj Kepala Daerah diatur dalam Undang-Undang 10/2016 tentang Pilkada.
Tujuannya, untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Termasuk, untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Namun, berdasarkan putusan MK 67/PUU-XIX/202, penunjukan Pj Kepala Daerah harus memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi dan membentuk aturan pelaksanaannya yang menjamin transparansi, akuntabilitas dan partisipatif.
Sebab penunjukan Pj kali ini merupakan suatu anomali dan berbeda dengan penunjukkan Pj atau Plt atau Pjs sebelum-sebelumnya.
"Karena mengingat masa jabatan yang panjang dan luas cakupan yang akan dipimpin Pj juga banyak, sehingga ini akan berbeda," ujarnya.
Namun sampai hari ini ada banyak Pj Kepala Daerah yang dipilih, ditunjuk pemerintah, dan bahkan Pj kepala daerah yang sudah membuat kebijakan tertentu di daerah-daerah tidak didasarkan aturan yang dimandatkan oleh MK.
Hal ini. menurut Kahfi tentu melanggar amanat MK dan harus dianggap sebagai pelanggaran hukum.
"Kalau misalnya sampai hari ini Kemendagri masih menggunakan kerangka hukum yang eksisting, maka itu seharusnya tidak diperbolehkan, karena MK sudah memerintahkan harus ada (kerangka hukum) yang baru," ujarnya.