TRIBUNNEWS.COM - Djuanda Kartawidjaja menjadi tokoh pahlawan nasional yang fotonya tertera pada gambar utama pecahan uang kertas dengan nominal Rp 50.000 tahun emisi 2016 dan 2022.
Berikut adalah profil Djuanda Kartawidjaja yang Tribunnews himpun dari berbagai sumber.
Ir. H. Djuanda Kartawidjaja lahir pada tanggal 14 Januari 1911 di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Tokoh pahlawan nasional ini merupakan anak dari pasangan Raden Kartawidjaja dan juga Nyi Momot.
Ayahnya memiliki profesi sebagai guru yang kemudian diangkat menjadi Mantri Guru di Hollands Inlandse School (HIS).
HIS merupakan sekolah dasar berbahasa Belanda, tak sembarang orang dapat sekolah di sana.
Baca juga: Profil KH Idham Chalid, Pahlawan dalam Uang Baru Rp 5.000: Ulama dan Politikus Muslim Indonesia
Namun karena ayah Djuanda memiliki posisi sebagai mantri, maka Ia memiliki kesempatan untuk menjadi siswa di sana.
Setelah dari HIS, Djuanda melanjutkan pendidikan di Eouropese Lagere School (ELS) dan tamat pada tahun 1924.
Keberhasilannya lulus dari ELS membuatnya meneruskan pendidikan ke Hogere Burgerlijke School (HBS) di Bandung.
Lulus dari HBS tahun 1929, Djuanda kemudian melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Technische Hoge School Bandung (THS) yang sekarang dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB).
Ia mengambil jurusan teknik sipil dan lulus pada 1933.
Pada tahun 1930/1931, Djuanda sempat didapuk menjadi Ketua Perhimpunan Mahasiswa Indonesia.
Kala itu Djuanda juga bergabung dengan organisasi bernama Paguyuban Pasundan dan menjadi anggota Muhammadiyah.
Riwayat Karier Djuanda Kartawidjaja
Karir Djuanda dimulai sebagai seorang guru SMA dan Sekolah Guru di bawah naungan Muhammadiyah.
Pekerjaan pertamanya tersebut dilakoni atas rekomendasi dari Otto Iskandar Dinata, seniornya di organisasi Paguyuban Pasundan.
Baca juga: PROFIL GSSJ Ratulangi, Sosok Pahlawan yang Ada dalam Uang Baru Rp 20.000
Lima tahun menjadi seorang guru, Djuanda lantas bekerja sebagai insinyur Bidang Pengairan dalam departemen pekerjaan umum yang berada di Bandung, Jawa Barat.
Pada awalnya berdirinya negara Republik Indonesia, Djuanda menjadi kepala Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI).
Karier Djuanda pun terus meroket, Presiden Soekarno mengangkatnya sebagai Menteri Muda Perhubungan pada 2 periode, yaitu 2 Oktober 1946–4 Agustus 1949 dan 6 September 1950–30 Juli 1953.
Pada 9 April 1957, Djuanda terpilih menjadi Perdana Menteri Indonesia ke-11sekaligus yang terakhir.
Djuanda menjabat dari 9 April 1957 hingga 10 Juli 1959.
Setelah itu Djuanda menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Kerja I.
Jasa Besar Djuanda dalam Penyatuan Wilayah Laut Indonesia
Djuanda mencetuskan deklarasi yang dikenal sebagai Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957.
Deklarasi Djuanda menyatakan bagian-bagian laut yang terletak di sekitar dan di antara pulau-pulau Indonesia yang dahulunya berstatus laut bebas, kini menjadi laut nasional yang merupakan bagian dari wilayah sah NKRI.
Sebelum Deklarasi Djuanda, konsep kesatuan NKRI diketahui hanya berupa kedaulatan wilayah-wilayah daratan.
Pada wilayah laut, kepemilikan Indonesia hanya diukur sejauh tiga mil dari garis pantai sesuai hukum Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnatie 1939 (TZMKO 1939).
Berikut ini isi dari Deklarasi Djuanda:
- Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri.
- Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan.
- Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia.
Djuanda lalu memutuskan untuk mengubah batas wilayah teritorial bagi tiap pulau menjadi 12 mill diukur dari titik terluar pulau.
Selain itu, Djuanda juga membawa persoalan ini dalam konferensi Internasional pada Februari 1958 di Jenewa namun mendapat ditolak.
Perjuangan Djuanda tak berhenti di situ.
Pada Konvensi Hukum Laut Internasional PBB ke-3 yang berlangsung dari 1973 sampai 1982, Indonesia kembali membawa pemikiran Djuanda.
Perjuangan itu pun berhasil, muncul Konvensi Hukum Laut PBB di Jamaika pada 10 Desember 1982 yang menyatakan pengakuan Indonesia sebagai negara kepulauan.
Terbitnya konvensi itu menjadikan pihak asing tidak dapat seenaknya datang ke wilayah Indonesia tanpa izin dan biota laut serta kekayaan alam lainnya adalah milik bangsa Indonesia.
Djuanda Kartawidjaja meninggal dunia pada 7 November 1963.
Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Namanya diabadikan sebagai nama lapangan terbang di Surabaya, Jawa Timur yaitu Bandara Djuanda.
(Tribunnews.com/Nurkhasanah)