Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani menyatakan peluang partai-partai baru untuk lolos ke Senayan sangat berat.
Meskipun dinilai cukup berat, namun peluang untuk lolos menurut Saiful Mujani, tetap ada.
"Bukan berarti peluangnya tidak ada, tapi partai baru untuk lolos ke Senayan sangat berat. Perlu kerja ekstra luar biasa dibanding sebelum-sebelumnya," kata Saiful Mujani dalam keterangannya, Kamis (18/8/2022).
Menurutnya, sejak Pemilu 1999 hingga Pemilu 2019, jumlah partai cenderung semakin sedikit.
Baca juga: Tiga Parpol Ajukan Permohonan Sengketa Pemilu ke Bawaslu
"Pada Pemilu 1999, ada 48 partai yang ikut dalam kontestasi Pemilu. Pemilu 2019, tinggal 16 partai," ungkapnya.
Ia menilai, penurunan jumlah itu menunjukkan orang semakin belajar bahwa mendirikan partai bukan sesuatu yang mudah.
Kendati demikian, Saiful menuturkan walaupun yang ikut Pemilu semakin sedikit, tapi jumlah partai yang mendapat suara signifikan semakin banyak.
Pemilu 1999, kata dia, hanya lima partai mendapat suara di atas 4 persen di DPR, sementara pada Pemilu 2019, ada 9 partai.
Partai yang mendapatkan suara 4 persen ke atas semakin banyak.
"Ini menunjukkan bahwa jumlah partai yang ikut Pemilu semakin sedikit, tapi intensitas atau kualitas partai yang sedikit ini untuk menyerap suara semakin baik," imbuhnya.
Selanjutnya, pada 1999, hanya lima partai mendapat suara di atas 4 persen, yakni PDIP, Golkar, PKB, PAN, dan PPP.
Lalu, pada 2004 jumlah partai yang mendapat suara di atas 4 persen menjadi 7 dengan tambahan Partai Demokrat dan PKS.
Kemudian, pada 2009, muncul partai Gerindra sehingga yang mendapat suara di atas 4 persen menjadi 8 partai.
Baca juga: Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo Diisukan Dapat Endorse dari Jokowi di Pemilu 2024, Ini Kata PDIP
Serta pada Pemilu 2014, muncul Partai Nasdem dan Hanura yang menggenapi partai di parlemen menjadi 10.
"Pada Pemilu terakhir, tidak ada penambahan partai baru, yang terjadi justru pengurangan partai karena Hanura tidak lolos parliamentary threshold, sehingga hanya ada 9 partai di parlemen saat ini," ucapnya.
Tak hanya itu, Saiful menyebut, tiga prasyarat bagi partai baru untuk mendapatkan dukungan signifikan dari publik cenderung tidak terpenuhi.
Ketiga prasyarat itu, kata dia, yakni tidak ada momentum, basis sosial cenderung stagnan, dan tidak muncul tokoh baru.
“Jadi apa alasannya harus ada partai yang baru jika syarat-syarat kebaruan itu tidak terpenuhi?" ujarnya.
Momentum
Menurut Saiful, momentum tidak bisa diciptakan, melainkan muncul tiba-tiba dalam sejarah.
Pada 1999, misalnya, ada momentum krisis ekonomi dan keruntuhan Orde Baru.
"Ini momentum politik besar yang tidak bisa diulang dan direkayasa begitu saja," ujarnya.
Ia menuturkan 1999 adalah momentum bagi PDIP, karena keruntuhan Orde Baru pada 1998 identik dengan represi pada PDIP.
"Nama PDIP sendiri lahir sebagai perjuangan melawan Orde Baru. PDIP mendapatkan suara yang sangat siginifikan (34 persen) dalam sejarah politik Indonesia pada 1999 karena ada momentum," ucapnya.
Saiful menilai, perolehan suara besar itu pantas diraih PDIP karena ada pengaruh Megawati yang jadi korban represi yang dilakukan Orde Baru.
Baca juga: Waketum PKB Sambut Positif Ajakan Jokowi Tak Ada Politik Identitas di Pemilu 2024
Basis Sosial
Saiful mencontohkan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, atau Gereja yang disebut memiliki basis keagamaan.
"Partai yang didirikan dengan basis sosial organisasi keagamaan biasa disebut sebagai partai sosiologis," ucapnya.
Ia pun menyinggung soal kedekatan NU dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) karena adanya, KH Abdurrahman Wahid.
Sementara Muhammadiyah juga lahir sejumlah partai, misalnya Partai Amanat Nasional (PAN).
"Walaupun secara langsung PAN tidak didirikan oleh Muhammadiyah, tapi tokoh-tokoh yang ada di partai ini berasal dari orang Muhammadiyah seperti Amien Rais," ungkapnya.
Faktor Tokoh
Saiful mencontohkan bagaimana peran Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan teman-temannya, meski tidak memiliki basis ormas awalnya.
"Begitu dideklarasikan, SBY bisa menarik suara dan Demokrat mendapatkan suara yang cukup signifikan, sekitar 7 persen pada 2004. Lalu setelah SBY menjadi presiden, pada Pemilu 2009, Partai Demokrat mendapatkan suara 21 persen," ucapnya.