Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim kuasa hukum Weibinanto Halimdjati atau Lin Che Wei, menyoroti tiga pokok dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap kliennya dalam perkara dugaan korupsi pada penerbitan persetujuan ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya periode Januari-Maret 2022.
Seluruh dakwaan tersebut dipandang sumir dan tidak layak dilayangkan kepada Lin Che Wei.
Menurut Maqdir Ismail, kuasa hukum Lin Che Wei, ada tiga pokok persoalan yang dijadikan landasan JPU mendakwa Lin Che Wei telah melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Pertama, Lin Che Wei menggunakan jabatannya sebagai tim Asistensi Kementerian Koordinator Bidang perekonomian untuk bertindak seolah-olah sebagai pejabat yang mempunyai otoritas dalam penerbitan persetujuan ekspor.
Kedua, Lin Che Wei mengusulkan agar syarat persetujuan ekspor berupa pemenuhan realisasi distribusi dalam negeri (domestik market obligation/DMO) diubah hanya mensyaratkan pemenuhan rencana distribusi dalam negeri hanya mensyaratkan pemenuhan rencana distribusi dalam negeri.
Ketiga, merancang, mengolah dan membuat analisis realisasi komitmen (pledge) dari pelaku usaha yang tidak menggambarkan kondisi pemenuhan kewajiban DMO yang sebenarnya, yang dijadikan dasar oleh Indra Sari Wisnu Wardhana (Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan) dalam penerbitan permohonan persetujuan ekspor CPO dan turunannya.
Baca juga: Jaksa Ungkap Peran Lin Che Wei dalam Kasus Korupsi Minyak Goreng
“Terhadap tiga pokok dakwaan ini, pertama saya sampaikan bahwa Lin Che Wei diminta oleh Menteri Perdagangan untuk menjadi 'teman diskusi' terkait CPO dan krisis minyak goreng pada tanggal 14 Januari 2022, atau setelah Kementerian Perdagangan mengeluarkan kebijakan mengenai HET (Harga Eceran Tertinggi). Jadi, terkait dengan kelangkaan minyak goreng akibat adanya HET, tidak ada keterlibatkan Lin Che Wei. Sekiranya ada pengaruh penimbunan dan langkanya minyak goreng di pasar akibat harganya lebih murah dari ongkos produksi dan bahan baku, dapat dipastikan di luar pengetahuan dan kewenangan dari Lin Che Wei,” kata Maqdir di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (31/8/2022).
Sementara berkenaan dengan kewajiban DMO dan larangan terbatas eskpor CPO, Maqdir memastikan tidak ada kewenangan LCW dalam masalah tersebut.
“Pengetahuan Lin Che Wei tentang masalah ini berdasarkan presentasi Dirjen Perdagangan Luar Negeri yang memberikan paparan simulasi DMO dan DPO (Domestic Price Obligation) pada tanggal 27 Januri 2022,” imbuhnya.
Maqdir juga menegaskan, tidak ada keikutsertaan Lin Che Wei dalam penerbitan persetujuan ekspor (PE).
Bukan hanya karena tidak tidak punya wewenang, tetapi Lin Che Wei secara tegas pernah menyatakan kepada Dirjen Perdagangan Luar Negeri melalui pesan WhatsApp agar tidak ikut terlibat mengenai urusan persetujuan ekspor karena rawan difitnah.
“Kalau ada pihak pengusaha yang meminta 'tanggung jawab' Lin Che Wei, karena sudah melaksanakan DMO sesuai pledge, pertanyaan tersebut selalu langsung diserahkan dan diarahkan kepada Dirjen Perdagangan Luar Negeri untuk diputuskan,” ungkap Maqdir.
Lelyana Santosa dari firma hukum Lubis, Santosa, dan Marami (LSM), yang juga menjadi kuasa hukum Lin Che Wei menambahkan, JPU dalam dakwaanya memosisikan Lin Che Wei seolah-olah pejabat yang memiliki kewenangan dan otoritas.
Padahal, posisi Lin Che Wei sebagai Tim Asistensi Kemenko Perekonomian adalah mitra diskusi Kemendag yang hanya bisa bisa mengusulkan atau memberi masukan.
“Kalau seseorang disebut pejabat yang punya otoritas, harus ada produknya. Misalnya, Permendag. Nah, ini apa produk hukum yang dihasilkan atau ditandatangani Lin Che Wei? Apakah pengusul dan perancang peraturan bisa dimintai pertanggungjawaban,” ujar Lelyana.
Dalam surat dakwaan, JPU juga mencantumkan Laporan Hasil Audit BPKP Nomor : PE.03/SR - 511/ D5/01/2022 Tanggai 18 Juli 2022, yang menyatakan bahwa kerugian akibat korupsi terkait sawit dan krisis minyak goreng ini mencapai Rp20 triliun.
Secara rinci, kerugian ini terdiri atas kerugian negara mencapai Rp6 triliun, kerugian perekonomian negara atas penerbitan PE CPO kepada swasta nilainya sekitar Rp12 triliun, dan pendapatan yang tidak sah (illegal gain), sekira Rp2 triliun.
“Ini angka kerugian yang sangat fantastis, tetapi bagaimanakah perhitungannya dan apakah dilakukan oleh lembaga yang berwenang? Terkait dengan kerugian keuangan negara Mahkamah Konstitusi dalam putusannya secara tegas menyatakan harus nyata dan pasti jumlahnya dan hanya BPK yang berwenang menyampaikan hasil penghitungannya,” kata Maqdir.
Maqdir kemudian mencontohkan mengenai keuntungan sejumlah produsen CPO dari penerbitan persetujuan ekspor sebagaimana ditulis dalam Surat Dakwaan.
Keuntungan Grup Musim Mas seluruhnya sebesar Rp626.630.516.604, Grup Permata Hijau seluruhnya sebesar Rp.124.418.318.216, dan Grup Wilmar seluruhnya sebesar Rp.1.693.219.882.064.
Dengan begitu, keuntungan total ketiganya hanya Rp2.444.286.716.885.
“Dengan demikian, maka antara kerugian negara dan perekonomian negara dengan keuntungan pihak yang dianggap diuntungkan menjadi tidak sama dan tidak jelas. Seharusnya, antara kerugian negara dan perekonomian negara harus sama besarnya dengan besarnya keuntungan yang diperoleh oleh pihak yang dianggap diuntungkan,” lontar Maqdir.
Selain itu, seandainya memang ada pihak yang memperoleh keuntungan secara ilegal, maka seharusnya pihak yang mendapat keuntungan yang dituntut.
Sementara posisi Lin Che Wei merupakan mitra diskusi yang diminta bantuannya oleh Menteri Perdagangan untuk mengatasi persoalan krisis minyak goreng.
“Jadi, dakwaan atas Lin Che Wei dengan sensasi ada kerugian besar ini sangat tidak layak dilakukan dalam satu negara hukum seperti Indonesia,” ucap Maqdir.