TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menyoroti pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tentang gelandangan.
Feri menjelaskan RKUHP sendiri mulanya dari hukum pemerintah Belanda saat menjajah Indonesia yang kemudian diterapkan untuk pemerintahan saat ini, sehingga nuansa era Belanda pun masih kental terasa.
Ini tentu tidak lepas juga dengan pasal yang membahas gelandangan dalam RKUHP. Feri menjelaskan kenapa pasal tentang gelandangan ini bisa terjadi.
Ketika era penjajahan di era Hindia Belanda, para penjajah Belanda tidak ingin terganggu oleh banyaknya gelandangan pribumi di jalanan ketika mereka hendak berkeliling dan menikmati suasana sekitar.
Sehingga diterbitkanlah pasal yang disasar untuk para gelandangan guna para penjajah Belanda tidak terganggu lagi saat berkeliling.
Pasal ini jelas tidak tepat dirasa oleh Feri untuk diterapkan dalam konteks pemerintahan saat ini.
“Dulu kan priayi-prayinya orang Belanda itu tidak bisa menikmati suasana keindahan negeri jajahannya ketika pribumi bergelandangan. Itu sebabnya mereka mempidanakan pribumi,” ujar Feri dalam diskusi daring bertajuk Aspirasi Politisi Muda tentang RKUHP, Sabut (3/9/2022).
“Pasal-pasal seperti ini terang benderang nuansa Belandanya para penajajah. Dan kita sebagai negara yang pernh dijajah, malah menggunakan pasal yg sama untuk saudara setanah air kita sendiri. Jadi agak aneh kalau pasal ini ada dan diterapkan,” tambah Feri.
Baca juga: Wamenkumham: Solusi Dewan Pers Terhadap RKUHP Sangat Bisa Diakomodasi
Diketahui, Pasal 429 RKUHP berbunyi: Setiap Orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.
Mengenai kategori denda, pada pasal 79 ayat 1, RKUHP membagi 8 kategori. Besaran denda mulai dari Rp 1 juta sampai Rp 50 miliar. Adapun pidana denda untuk kategori 1, yakni Rp 1 juta.