Reaksi itu harus ditanggapi serius oleh pemerintah.
Tidak bisa diharapkan hanya dengan himbauan agar konsumsi masyarakat membeli BBM bersubsidi dikurangi dan melarang bagi yang tidak berhak.
Cara seperti itu hanya akan terus berputar pada lingkaran setan masalah klasik yang tidak ada ujung penyelesaiannya.
Menurut mantan Ketua Fraksi Partai Golkar ini, subsidi BBM merupakan salah satu cara pemerintah menjaga daya beli masyarakat akibat tingginya inflasi.
ondisi ini sering disebut social safety net dan berlaku universal.
Namun subsidi yang tepat sasaran sudah harus mulai dikerjakan agar membakar uang untuk hal yang tidak tepat dan tidak wajar, tidak akan terjadi lagi di masa mendatang.
Dia melihat bangsa ini sudah puluhan tahun menghadapi masalah BBM dan BBM subsidi.
Hingga kini, belum menemukan sebuah kebijakan yang mampu meminimalisir beban APBN maupun beban hidup masyarakat akibat dari kenaikan harga minyak dunia.
Dia mengungkap pengalamannya saat menjadi Ketua Badan Anggaran DPR RI tahun 2010/2012.
Saat itu, terjadi lonjakan kenaikan minyak dunia dari US$90 per barel menjadi US$120 per barel.
DPR tidak serta merta menyetujui usulan pemerintah saat itu untuk menaikan harga BBM subsidi.
Melalui perdebatan yang sangat alot, akhirnya DPR mengambil keputusan dengan mekanisme voting yang memenangkan opsi yang ditawarkan oleh Fraksi Partai Golkar.
Dalam rapat paripurna, diputuskan bahwa harga BBM dapat dinaikan apabila harga rata-rata Indonesian Crude Price (ICP) naik 15 persen dalam jangka waktu 6 bulan. Keputusan ini memaksa pemerintah bekerja keras.
Dalam perkembangannya, persyaratan kenaikan tidak terpenuhi sehingga pemerintah tidak jadi menaikan harga BBM, dan APBN tetap sehat hingga hari ini.
“Kebijakan yang prudent seperti itu bisa terus diterapkan dalam penyelesaian BBM bersubsidi saat ini. Kebijakan menaikan BBM hanya pilihan terakhir ketika tidak ada lagi alternatif kebijakan yang bisa dilakukan,” tutup Mekeng.