News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

UU PDP Dikhawatirkan Lemah Dalam Penegakan Hukum, ELSAM: Potensi Hanya jadi Macan Kertas

Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Erik S
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Direktur Eksekutif ELSAM Wahyudi Djafar

Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyoroti perihal pengesahan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) oleh DPR RI pada Rapat Paripurna 20 September 2022 kemarin.

Dalam pandangannya, Direktur Eksekutif ELSAM Wahyudi Djafar mempertanyajan perihal seberapa jauh UU PDP tersebut dapat mengatasi permasalahan perlindungan data pribadi di Indonesia.

Baca juga: Formappi Sebut Pembentukan UU PDP Tidak Terbuka hingga Pasal Kontroversial

Pihaknya menyatakan, jika dibaca secara umum, substansi materi UU PDP yang disepakati tersebut memang telah mengikuti standar dan prinsip umum perlindungan data pribadi yang berlaku secara internasional. 

Terutama kata dia, adanya kejelasan rumusan mengenai definisi data pribadi, jangkauan material yang berlaku mengikat bagi badan publik dan sektor privat, perlindungan khusus bagi data spesifik, adopsi prinsip-prinsip pemrosesan data pribadi, batasan dasar hukum pemrosesan data pribadi, perlindungan hak-hak subjek data, serta kewajiban pengendali dan pemroses data. 

"Artinya dengan klausul demikian, mestinya legislasi ini dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang menyeluruh dalam pemrosesan data pribadi di Indonesia," kata Djafar dalam keterangannya, Sabtu (24/9/2022).

Meski telah mengakomodasi berbagai standar dan memberikan garansi perlindungan bagi subyek data, akan tetapi implementasi dari undang-undang ini berpotensi problematis.

Bahkan lebih jauh, dirinya tak memungkiri kalau UU PDP ini lemah dalam penegakan hukumnya.

"Berpotensi problematis, hanya menjadi macan kertas, lemah dalam penegakannya," kata Djafar.

Dirinya menjelaskan perihal potensi tersebut bisa muncul, di mana hal itu hampir pasti terjadi karena ketidaksolidan dalam perumusan pasal-pasal terkait dengan prosedur penegakan hukum.

Baca juga: UU PDP Resmi Disahkan, LBH Jakarta: Belum Menjamin Keamanan Data Pribadi dari Kepentingan Politik

Hal itu kata dia, sebagai imbas kuatnya kompromi politik, khususnya berkaitan dengan Lembaga Pengawas Pelindungan Data Pribadi. 

"Mengapa demikian? Situasi tersebut hampir pasti terjadi, akibat ketidaksolidan dalam perumusan pasal-pasal terkait dengan prosedur penegakan hukum," beber dia.

Pada dasarnya kata Djafar, Indonesia harus belajar dari praktik di banyak negara, di mana kunci efektivitas implementasi UU PDP berada pada otoritas perlindungan data.

Pihak tersebut kata dia, merupakan lembaga pengawas, yang akan memastikan kepatuhan pengendali dan pemroses data, serta menjamin pemenuhan hak-hak subjek data. 

Baca juga: Disahkannya UU PDP Bisa Membuat Konsumen Semakin Nyaman Bertransaksi Digital

"Apalagi ketika UU PDP berlaku mengikat tidak hanya bagi sektor privat, tetapi juga badan publik (kementerian/lembaga), maka independensi dari otoritas ini menjadi mutlak adanya, untuk memastikan ketegasan dan fairness dalam penegakan hukum PDP," ucapnya.

Akan tetapi, sayangnya kata dia, meski UU PDP ditegaskan berlaku mengikat baik bagi korporasi maupun pemerintah, undang-undang tersebut justru mendelegasikan kepada Presiden untuk membentuk Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK).

Lembaga itu memiliki tanggung jawab langsung kepada Presiden. Artinya otoritas ini pada akhirnya takubahnya dengan lembaga pemerintah (eksekutif) lainnya.

"Padahal salah satu mandat utamanya (UU PDP) adalah memastikan kepatuhan kementerian/lembaga yang lain terhadap UU PDP, sekaligus memberikan sanksijika institusi pemerintah tersebut melakukan pelanggaran," kata Djafar.

Atas hal itu kata dia, timbul pertanyaan besar, apakah mungkin satu institusi pemerintah memberikan sanksi pada institusi pemerintah yang lain? 

Belum lagi menurut ELSAM, UU PDP juga seperti memberikan cek kosong pada Presiden dalam artian, tidak secara detail mengatur perihal kedudukan dan struktur kelembagaan otoritas ini.

Baca juga: Pengamat: Sahkan UU PDP, Kinerja DPR di Bawah Kepemimpinan Puan Patut Diapresiasi

"Sehingga ‘kekuatan’ dari otoritas yang dibentuk akan sangat tergantung pada ‘niat baik’ Presiden yang akan merumuskannya," tegas Djafar. 

Kondisi tersebut makin problematis dengan ‘ketidaksetaraan’ rumusan sanksi yang dapat diterapkan terhadap sektor publik dan sektor privat ketika melakukan pelanggaran. 

Bila melakukan pelanggaran, sektor publik hanya mungkin dikenakan sanksi administrasi yang tertuang dalam Pasal 57 ayat 2.

Sedangkan sektor privat, selain dapat dikenakan sanksi administrasi, juga dapat diancam denda administrasi sampai dengan 2 persen dari total pendapatan tahunan atau pada Pasal 57 ayat 3.

"Bahkan dapat dikenakan hukuman pidana denda mengacu pada Pasal 67, 68, 69, 70," ucap nya.

Atas hal itu, pihaknya berpandangan, meski rumusan penegakkan hukum pada UU PDP ini berlaku mengikat baik bagi privat maupun sektor publik, namun dalam penerapan penegakkan hukumnya berpotensi menciptakan ketidaksetaraan.

"Dengan rumusan demikian, meski disebutkan undang-undang ini berlaku mengikat bagi sektor publik dan privat, dalam kapasitas yang sama sebagai pengendali/pemroses data, namun dalam penerapannya, akan lebih bertaji pada korporasi, tumpul terhadap badan publik," tukas dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini