TRIBUNNEWS.COM - Simak inilah sejarah Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober.
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila dilakukan atas dasar mengenang dan menghormati jasa para pahlawan revolusi yang gugur dalam peristiwa gerakan 30 September atau G30S.
Sebagai informasi, Hari Kesaktian Pancasila dan Hari Lahir Pancasila berbeda.
Kedua hari peringatan tersebut merupakan peringatan terhadap dasar negara, yakni Pancasila.
Baca juga: Hari Kesaktian Pancasila 2022: Naskah Ikrar Kesaktian Pancasila dan 15 Link Twibbon
Hari Lahir Pancasila diperingati setiap tanggal 1 Juni yang merupakan peringatan awal mula Pancasila dijadikan sebagai dasar negara.
Sedangkan Hari Kesaktian Pancasila berkaitan dengan peristiwa G30S yang terjadi pada tanggal 30 September 1965.
Sejarah Hari Kesaktian Pancasila
Hari Kesaktian Pancasila diperingati setiap tanggal 1 Oktober dan berkaitan dengan peristiwa G30S.
Peristiwa G30S terjadi pada tanggal 30 September 1965.
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, telah terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI.
Mereka yang menjadi korban adalah enam pejabat tinggi Angkatan Darat, yakni :
1. Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/ Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi/ Panglima Angkatan Darat)
2. Mayjen TNI Raden Suprapto (Panglima AD Bidang Administrasi/ Deputi II Menteri)
3. Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Panglima AD Bidang Perencanaan dan Pembinaan/ Deputi III Menteri)
4. Mayjen TNI Siswondo Parman (Panglima AD Bidang Intelijen/ Asisten I Menteri)
5. Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Panglima AD Bidang Logistik/ Asisten IV Menteri)
6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Oditur Jenderal Angkatan Darat/ Inspektur Kehakiman)
Baca juga: Mengapa G30S Bisa Terjadi, Berikut Penjelasan Singkatnya
Baca juga: Aturan Pengibaran Bendera Setengah Tiang 30 September, Ini Sejarah Pemberontakan G30S
Korban dari G30S ini ditemukan pada tanggal 3 Oktober 1965 di sebuah lubang yang berada di suatu wilayah Pondok Gede, Jakarta.
Saat ini, lubang tersebut lebih banyak dikenal dengan nama Lubang Buaya.
Sasaran utama dalam insiden tersebut adalah Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang justru selamat dari upaya pembunuhan tersebut.
Namun, putri beliau, Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean telah tewas.
Tak hanya beberapa anggota perwira yang turut gugur dalam kejadian tersebut.
Beberapa orang lainnya yang juga turut menjadi korban, yakni:
1. Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/ Pamungkas, Yogyakarta)
2. Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/ Pamungkas, Yogyakarta)
3. Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal Kediaman Resmi Wakil Perdana Menteri II dr. J. Leimena)
Pasca pembunuhan beberapa perwira tersebut, PKI tidak menyerah.
Mereka mampu menguasai 2 sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan.
Melalui RRI, PKI berhasil menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota "Dewan Jenderal" yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah.
Selain itu, diumumkan pula terbentuknya suatu "Dewan Revolusi" yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Pada tanggal 1 Oktober 1945 Presiden Soekarno beserta Sekretaris Jenderal PKI Aidit menganggap jika pembentukan Dewan Revolusi adalah bentuk upaya pemberontakan yang dilakukan oleh PKI.
Pemerintah kemudian memutuskan untuk mendapatkan perlindungan serta berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim yang berlokasi di Jakarta.
Pada tanggal 6 Oktober, Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan.
Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata.
Pernyataan tersebut kemudian dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Soeharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara.
Lima bulan kemudian, pada tanggal 11 Maret 1966, Soekarno memberi Soeharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret.
Beliau memerintahkan kepada Soeharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya.
Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Soeharto untuk melarang PKI.
PKI dilarang berada dan juga tumbuh di wilayah Indonesia.
Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Soekarno dipertahankan sebagai Presiden Tituler Diktatur Militer sampai Maret 1967.
Setelah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September (G30S) dan hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
(Tribunnews.com/Latifah)(Gramedia.com)