TRIBUNNEWS.COM - Ketua Komisi I DPR RI Meutya Viada Hafid meminta aparat penegak hukum untuk proaktif menyelidiki secara tuntas sekaligus menemukan pelaku peretasan terhadap 37 jurnalis media Narasi.
Menurut Meutya, tindakan peretasan ini merupakan bentuk ancaman demokrasi yang mengganggu kebebasan pers.
"Kabar terakhir saya dengar ada 37 awak redaksi yang diretas, dari jumlahnya ini sangat besar sekali dan terlihat sangat masif. Ini mengganggu kerja jurnalistik serta kebebasan pers," ujar Meutya.
Politisi perempuan dari fraksi Partai Golkar yang juga pernah menjadi seorang wartawan ini menjelaskan upaya peretasan tersebut juga merupakan tindakan melawan hukum karena dalam UU Pers Pasal 18 telah menjamin perlindungan hukum bagi wartawan dalam menjalankan profesinya.
"Peretasan data pribadi pers akan menjadi ancaman bagi para jurnalis yang merupakan bagian dari masyarakat dalam menegakkan pilar demokrasi," ujarnya.
Peretasan terhadap awak media ini menunjukkan masih rendahnya kebebasan pers di Indonesia. Data The Economist Intelligence Unit pun turut menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia mengalami naik turun dan masih harus terus diperbaiki.
Padahal demokrasi menjadi hal penting dalam mendorong kemajuan bangsa. Untuk itu, Presiden ketiga Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie yang juga Tokoh Golkar saat menjabat membuka kebebasan pers untuk mendengar suara rakyat melalui media.
Kebebasan pers yang sudah diwariskan oleh Bapak Demokrasi dan Kebebasan Pers Indonesia ini semestinya terus dijaga sehingga angka demokrasi indonesia kembali naik.
Partai Golkar pun senantiasa menjaga, mengawal, dan bersuara keras untuk setiap hal yang mengganggu jalannya kebebasan pers di Indonesia agar rakyat kecil bisa bersuara.