TRIBUNNEWS.COM - Rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk meregulasi pelabelan galon guna ulang dengan kandungan bisfenol A (BPA) masih menuai pro dan kontra.
Salah satu pihak yang lantang menolak rencana regulasi tersebut adalah Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan (Aspadin), yang didukung oleh Asosiasi Bidang Pengawasan dan Perlindungan terhadap Para Pengusaha Depot Air Minum (Asdamindo).
Ketua Umum Asosiasi Aspadin Rachmat Hidayat mengklaim revisi aturan BPOM akan membuat industri air minum dalam kemasan (AMDK), terutama produsen AMDK kemasan galon guna ulang, merugi sampai triliunan rupiah per tahun.
“Mungkin industri ini sebagian besar akan tutup,” katanya.
Senada dengan Ketua Umum Aspadin, Ketua Asdamindo sekaligus Pimpinan LSM Garda Pemuda Siliwangi Erik Garnadi mengatakan, rencana pelabelan BPA ini juga akan merugikan para pengusaha depot air minum.
Menurutnya, labelisasi BPA dapat menyebabkan banyak pengusaha depot air minum menutup usahanya.
Regulasi BPOM tidak menargetkan industri depot air minum
Faktanya, penolakan regulasi BPOM oleh Asdamindo tidak memiliki sangkut paut dengan permasalahan yang ada.
Pasalnya, industri depot air minum yang dinaungi oleh Asdamindo merupakan jenis usaha yang tidak terdampak langsung oleh pelabelan BPA.
Lagi pula, bisnis depot air minum merupakan jenis usaha yang menyediakan air minum praktis untuk masyarakat yang datang ke depot-depot dengan membawa wadah milik mereka sendiri.
Bahkan di beberapa tempat di Indonesia, masyarakat dapat datang dengan membawa jerigen dan wadah jenis lainnya ke depot air minum, sehingga galon bukanlah satu-satunya wadah yang bisa digunakan.
Ketua Umum Asosiasi Pemasok dan Distributor Depot Air Minum Indonesia (Apdamindo) Budi Darmawan pun menegaskan, aturan BPOM hanya menargetkan pelabelan galon bekas pakai polikarbonat mengandung BPA.
Karenanya, aturan BPOM ini tidak akan berdampak pada bisnis depot air minum.
“Regulasi pelabelan AMDK galon kan pada kemasannya, sedangkan fokus bisnis depot air minum pada airnya saja,” kata Budi Darmawan, di Jakarta (7/11/2022).
Budi melanjutkan, “Jenis usaha kami jelas sangat berbeda dari bisnis air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang.”
Selain dalam hal perbedaan bisnis, terdapat juga faktor pembeda lainnya. AMDK galon bekas pakai yang mengandung senyawa berbahaya BPA diproduksi oleh industri skala besar.
Sebaliknya, bisnis depot air minum isi ulang adalah bisnis yang masuk kategori UMKM yang dioperasikan oleh masyarakat.
“Dengan demikian, regulasi BPOM untuk pelabelan galon guna ulang dari bahan plastik keras polikarbonat yang bercampur BPA tidak akan berpengaruh negatif pada bisnis depot air minum milik masyarakat,” tegas Budi lagi.
Sebagai induk organisasi dengan anggota hampir 90.000 depot air minum UMKM di Indonesia, Apdamindo menyatakan sejalan dengan langkah BPOM terkait pelabelan “Berpotensi Mengandung BPA” terhadap galon guna ulang yang mengandung senyawa berbahaya tersebut.
Dukungan dari Apdamindo ini turut mempertegas perbedaan bisnis AMDK dan depot air minum, apalagi BPOM dengan tegas mengecualikan usaha depot air minum dari regulasi pelabelan.
“Kalaupun nanti ada perubahan kebijakan, misalnya BPOM terpaksa diminta untuk turun memeriksa depot-depot air minum, itu jelas bukan pekerjaan mudah, karena jumlah pelaku usaha ini yang sangat besar dan tersebar di seluruh Indonesia,” pungkasnya.
BPOM tekankan urgensi pelabelan BPA
Deputi Bidang Pengawasan Pangan BPOM Rita Endang sebelumnya menyatakan peraturan pelabelan BPA hanyalah ditujukan untuk produk galon guna ulang berbahan polikarbonat, yaitu jenis plastik keras yang pembuatannya menggunakan campuran BPA.
Urgensi pelabelan ini sendiri berangkat dari sejumlah hasil penelitian dan riset mutakhir yang dilakukan di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang mengindikasikan berbagai bahaya BPA terhadap kesehatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa BPA berpotensi memicu perubahan sistem hormon tubuh dan memunculkan gangguan kesehatan termasuk kemandulan, penurunan jumlah dan kualitas sperma, feminisasi pada janin laki-laki, gangguan libido dan sulit ejakulasi.
Selain itu, paparan BPA dalam jangka waktu lama juga disebut memicu gangguan penyakit tidak menular seperti diabetes dan obesitas, gangguan sistem kardiovaskular, gangguan ginjal kronis, kanker prostat, dan kanker payudara.
Sementara pada anak-anak, paparan BPA dapat memunculkan gangguan perkembangan kesehatan mental dan autisme.
Sedangkan, menurut Rita, sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-hari mengonsumsi air kemasan bermerek.
Dari total 21 miliar liter produksi industri air kemasan per tahunnya, 22 persen di antaranya beredar dalam bentuk galon guna ulang. Sebanyak 96,4 persen dibuat dari plastik polikarbonat.
Mengingat jumlah konsumen AMDK di Indonesia tidak sedikit, pelabelan BPA menjadi prioritas untuk melindungi keamanan dan kesehatan masyarakat.
“Artinya 96,4 persen itu mengandung BPA. Hanya 3,6 persen yang PET (kemasan Polyethylene Terephthalate yang bebas BPA). Inilah alasan kenapa BPOM memprioritaskan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang,” kata Rita.
Kepala BPOM Penny K. Lukito pun mengatakan, pelabelan galon dengan BPA sangat diperlukan. Melalui pelabelan, masyarakat pun bisa mendapatkan hak mereka atas informasi produk yang mereka konsumsi sehari-harinya.
"Pelabelan juga untuk mengantisipasi munculnya gugatan hukum terkait keamanan produk air kemasan yang tertuju pada pemerintah dan kalangan produsen di masa datang," kata Penny dalam sebuah sarasehan belum lama ini.
Dengan label peringatan yang disematkan pada kemasan, konsumen lantas dapat mengetahui risiko kesehatan yang dihadapi saat membeli dan mengonsumsi sebuah produk.
Maka itu, klaim Aspadin yang menyatakan pelabelan BPA dapat mematikan industri air minum dinilai berlebihan. Hal tersebut terbukti lewat industri rokok, di mana label peringatan dan foto penderita kanker yang tertera di bungkusnya sama sekali tidak mematikan industri.