Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut terus membangun optimisme pertumbuhan ekonomi RI di kuartal III-2022 akan meningkat.
Keyakinan tersebut berdasarkan data-data makro ekonomi yang terus menunjukan pemulihan yang sangat baik hingga saat ini.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan yang signifikan ini melanjutkan pertumbuhan positif pada kuartal-II 2022 yang sebesar 5,44 persen (yoy).
Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus menguat di kuartal III-2022 sebesar 5,72 persen secara tahunan (year on year/yoy).
Sementara secara kuartalan ekonomi Indonesia tumbuh 1,81 persen (quarter to quarter/qtq).
Maka secara kumulatif Januari-September 2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,40 persen dibandingkan periode yang sama di 2021.
Pengamat Ekonomi, Unika Atma Jaya Rosdiana Sijabat mengatakan, meningkatnya ekonomi Indonesia ini sangat luar biasa karena hal tersebut di atas ekspektasi.
“Awalnya saya duga sih memang sesuai dengan ekspektasi ya, malah sedikit di atas ekspektasi sebenarnya itu 5,72 persen. Konsensus pasar itu sekitar 5,5 persen gitu, tetapi saya kira pertumbuhan 5,72 persen itu gambaran yang memang karena kita bandingkan dengan kuartal yang sama tahun lalu,” kata Rosdiana dalam keterangan yang diterima, Rabu (9/11/2022).
Baca juga: Ekonom Senior Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 5,3 Persen di Kuartal IV-2022
Menurut dosen Ekonomi Bisnis Unika Atma Jaya ini, menguatnya ekonomi di kuartal III-2022 ini didukung oleh tren yang bagus di awal tahun, hingga peningkatan yang signifikan adalah hal yang wajar, meski di dua bulan terakhir yakni September dan Oktober Indonesia mengalami inflasi, namun masih bisa diatasi dengan baik.
“Kami melihat beberapa variabel ekonomi makro mulai dari awal tahun sampai katakanlah sampai Agustus ini semuanya baik, kecuali mungkin di September sampai Oktober kita inflasinya mungkin agak tinggi ya,” ucapnya.
Dikatakan Rosdiana, ada dua indikator yang membuat ekonomi Indonesia membaik saat terjadi inflasi kemarin adalah sektor mobilitas atau transportasi dan ekspansi kredit yang juga meningkat sebagaimana laporan Bank Indonesia (BI).
“Dari beberapa indikator ekspansi kredit itu kita dapat dari datanya BI itu meningkat kemudian yang sudah pasti itu kalau kita lihat dari sejarah sektoral itu kan memang perbaikan mobilitas itu sudah jelas terlihat karena sektor yang paling tinggi itu kan sektor transportasi. Artinya geliat kita beraktivitas itu sudah jelas tercermin,” ujarnya.
Rosdiana mengatakan, indikator lainnya adalah sektor pergudangan yang artinya ada sektor produksi, kemudian pembelian dan lain-lain karena itu tercermin dari kuartal sebelumnya, dimana transportasi dan pergudangan menjadi sektor yang utama dan paling tinggi.
“Kalau di kuartal II kemarin itu sekitar 21 persen pertumbuhan sektor transportasi. Nah kalau kuartal III ini kan hampir 60 persen, jadi tercermin sekali ada perbaikan mobilitas,” katanya.
Rosdiana menuturkan, daya beli masyarakat yang terus meningkat menjadi indikator pendukung lainnya jika dilihat pada meningkatnya penjualan ritel, meski sebelumnya ada pencabutan subsidi dan naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
“Daya beli masyarakat itu membaik meskipun baru-baru ini ada dampak dari pencabutan subsidi, tetapi bisa kita katakan secara umum konsumsi rumah tangga itu yang menumpang PDB kita baik, karena indeks penjualan ritel itu juga positif atau terekspansi lah ini semua. Artinya ada perbaikan dari sisi permintaan konsumen untuk konsumsi rumah tangganya kita,” ucapnya.
Dijelaskan Rosdiana, situasi global juga menjadi faktor pendukung menguatnya ekonomi Indonesia jika merujuk pada data BPS, di mana nilai ekspor Indonesia sangat tinggi karena didukung oleh gejolak global yang membuat harga barang melambung tinggi.
“Jadi saya kira banyak faktor mungkin, salah satu kalau kita kaitkan dengan situasi internasional. Itu ada dari ekspor, dan ekspor kita itu naik karena kita diuntungkan di tengah-tengah gejolak global membuat kenaikan berbagai harga barang-barang produk mineral. Kita juga diuntungkan karena ada dua produk yang banyak dicari di pasar internasional sekarang itu berasal dari kita CPO dan batu bara,” ujarnya.
“Jadi dari sisi PDB dan pengeluaran kita bisa mendapatkan manfaat dari kenaikan ekspor itu sebenarnya,” imbuhnya.
Meski ekonomi Indonesia saat ini dalam kondisi sangat baik, namun Rosdiana mengingatkan pemerintah untuk tetap berhati-hati dengan berbagai ancaman di tahun depan yakni moneter, dimana tingkat suku bunga akan selalu berkaitan dengan konsumsi rumah tangga atau produksi lainnya.
“Jadi BI juga harus relatif hati-hati gitu, kalau kita misalnya ikut-ikutan tren suku bunga naik itu menjadi beban biaya. Artinya bisa memukul permintaan dan juga sisi produksi penawaran seperti itu, tetapi tantangannya adalah BI juga pasti harus hati-hati supaya depresiasi rupiah karena adanya aliran modal yang keluar karena tingkat suku bunga kita. Kalau suku bunga selisihnya terlalu jauh dengan tingkat suku bunga global, atau setidaknya di kawasan kita gitu,” jelasnya juga.
Rosdiana juga meminta agar pemerintah terus menjaga daya beli masyarakat agar tidak menurun dengan ancaman inflasi, karena jelang akhir tahun ada indikasi terjadinya kenaikan harga barang karena bertepatan dengan hari Natal dan Tahun Baru.
“Akhir tahun itu ada beberapa momen-momen yang biasanya harga-harga akan naik atau terjadi inflasi. Karena inflasi itu cerminan di tengah-tengah pemulihan permintaan domestik, kalau inflasi kita nanti bisa menembus sampai katakanlah sampai diatas 6 persen itu juga berbahaya,” ujarnya.
“Kalau misalkan dikombinasikan bagaimana supaya alih subsidi BBM itu bisa tepat, meskipun tidak terlalu signifikan akan tetapi itu bisa juga meredam kenaikan harga-harga, terutama dari non bahan makanan gitu,” pungkasnya.