TRIBUNNEWS.COM - Peristiwa 10 November ditandai dengan adanya Pertempuran Surabaya yang melibatkan pasukan perang Indonesia dengan Belanda.
Peristiwa ini terjadi pada 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur.
Dikutip dari semarangkota.go.id, Pertempuran Surabaya menjadi perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Peristiwa 10 November ini juga merupakan satu pertempuran paling besar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Oleh sebab itu, Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 ditetapkan sebagai Hari Pahlawan melalui Keppres Nomor 316 tahun 1959 pada 16 Desember 1959.
Ada sejumlah kejadian yang melatarbelakangi Peristiwa 10 November ini, mulai dari Insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato hingga penetapan Hari Pahlawan.
Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya
Dikutip dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, pada 19 September 1945, masyarakat Surabaya dibuat geger karena adanya kibaran bendera Belanda di Hotel Yamato.
Bendera tersebut ternyata dikibarkan pihak Belanda atas perintah WV Ch. Ploegman, pemimpin organisasi Indo Europesche Vereniging (IEV) yang diangkat NICA menjadi wali kota Surabaya.
Pada 18 September 1945 malam, ia memerintahkan rekan-rekannya mengibarkan bendera Belanda untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina.
Tindakan tersebut memicu kemarahan warga Surabaya yang diketahui pada saat itu tengah melakukan gerakan pengibaran bendera Merah Putih di seluruh daerah Surabaya.
Residen Soedirman dikawal Sidik dan Hariyono, datang beberapa saat kemudian untuk memprotes Ploegman yang berada di dalam hotel.
Di luar hotel, Hariyono langsung memanjat tembok hotel hingga ke atas menara setelah mengamankan residen.
Dalam waktu yang bersamaan, seorang pemuda bernama Koesno juga menaiki tangga untuk menuju ke tempat yang sama.
Di puncak menara, keduanya berniat untuk melakukan perobekan bendera Belanda.
Koesno mengambil alih upaya perobekan bendera dengan membuang warrna biru di bendera itu sehingga hanya menyisakan merah dan putih.
Hingga kini, peringatan peristiwa Perobekan Bendera tersebut dijadikan agenda rutin untuk Pemkot Surabaya.
Baca juga: 17 Pesan Perjuangan dari Pahlawan Nasional untuk Peringatan Hari Pahlawan
Kematian Brigadir Jenderal Mallaby
Sesudah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada 31 Oktober 1945, Brigadir Mallaby yang dikawal oleh Kapten Smith, Kapten Shaw, dan Letnan Laughland tiba-tiba ditahan oleh sekelompok pemuda.
Mengutip laman Kemdikbud, peristiwa penahanan tersebut membuat Mayor Venugopall melemparkan granat ke arah pemuda.
Lemparan granat tersebut mengakibatkan adanya letusan yang hebat dari kedua belah pihak.
Jenderal Brigadir Mallaby yang ada di lokasi justru terbunuh dan hangus bersama mobil.
Namun, ada versi lain yang mengungkapkan bahwa Mallaby tewas karena menjadi sasaran pemuda, ia ditusuk menggunakan bayonet dan bambu runcing.
Kejadian tersebut memunculkan anggapan pihak Inggris bahwa tewasnya Brigjen Mallaby karena lemparan granat dari pihak Indonesia.
Sehingga Jenderal Christison selaku Komandan Angkatan Perang Inggris di Indonesia mengecam keras peristiwa itu.
Sementara itu, Kapten Shaw mengancam untuk membalas Indonesia dengan seluruh kekuatan Kerajaan Inggris, baik laut, darat, dan udara.
Sebagai Panglima AFNEI, Christison memperingatkan agar rakyat Surabaya menyerah, apabila tidak mereka akan dihancurleburkan.
Baca juga: Sejarah Hari Pahlawan 10 November, Dilatarbelakangi Kejadian Pertempuran Surabaya
Penetapan Hari Pahlawan 10 November
Setelah kematian Mallaby, pihak Inggris mendatangkan pasukan baru di bawah pimpinan Mayor Jenderal E.C Mansergh.
Pada 8 November 1945, pihaknya mengirim surat berupa ancaman serius dari pihak sekutu yang berniat menggempur seluruh Surabaya.
Surat-surat tersebut kemudian dibalas Soeryo pada 9 November 1945, akan tetapi tidak sampai kepada sekutu.
Hal itu mendorong sekutu untuk mengeluarkan ultimatum yang isinya memerintahkan orang-orang Indonesia untuk meletakkan bendera Merah Putih di atas tanah dan para pemuda harus menghadap sambil angkat tangan.
Tak hanya itu, Indonesia juga dituntut untuk bersedia menandatangani surat menyerah tanpa syarat.
Mansergh saat itu menginstruksikan agar wanita dan anak-anak wajib meninggalkan kota Surabaya sebelum pukul 19.00 WIB malam.
Para pribumi diberi ancaman hukuman mati apabila masih membawa senjata sesudah pukul 06.00 pada tanggal 10 November 1945.
Pihak Indonesia merasa tidak terima dengan ultimatum yang diberikan oleh Mansergh karena dianggap sebagai penghinaan terhadap martabat dan harga diri bangsa Indonesia.
Ultimatum itu sama sekali tidak dihiraukan rakyat Surabaya sehingga pecahlah Pertempuran Surabaya.
Keesokan harinya, 10 November 1945 sejak pukul 06.00 WIB, Inggris melakukan serangan atas kota Surabaya.
Bung Tomo dan arek-arek Surabaya menyemangati rakyat untuk melawan penyerbuan sekutu.
Pemuda Indonesia yang membawa bendera Merah Putih dalam berperang tetap semangat di bawah pimpinan Soengkono yang saat itu menjadi Komandan Pertahanan.
Para pemuda saat itu menghadapi sekutu menggunakan senjata bambu runcing dan belati ketika bergerak menyerang tank-tank Sherman milik sekutu.
Akibat dari pertempuran itu, sebanyak 6 ribu rakyat Surabaya harus gugur dan yang lainnya mengungsi.
Tanggal 10 November 1945 merupakan puncak perjuangan arek-arek Surabaya.
Para pemuda Surabaya berjuang melawan serangan Inggris selama tiga minggu.
Berawal dari kontak senjata yang terjadi di Tanjung Perak dan kemudian berakhir di Gunung Sari pada 28 November 1945.
Meskipun Indonesia telah kehilangan banyak jiwa manusia dan senjata dalam pertempuran Surabaya, namun perlawanan mereka yang bersifat pengorbanan bagi keutuhan bangsa.
Peristiwa tersebut pada akhirnya dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.
(Tribunnews.com/Enggar Kusuma)