Lebih lanjut kata dia, jika pelibatan prajurit TNI sebagai satuan pengamanan di lingkungan MA dijalankan dalam rangka tugas pokok terkait operasi militer selain perang, seharusnya hal tersebut didasarkan pada keputusan politik negara pada Pasal 7 ayat 3 UU TNI, bukan keputusan MA.
"Yang dimaksud dengan keputusan politik negara adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama dengan DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR atau pada penjelasan Pasal 5 UU TNI," ujar Al Araf.
Tak hanya itu, kata dia, penggunaan personel TNI sebagai satuan pengamanan (satpam) hanya sebagai upaya untuk memberikan kesan gagah terhadap MA yang selama ini lemah dan gagal dalam mereformasi institusinya.
Padahal di sisi lain ada kekhawatiran disalahgunakannya pelibatan prajurit TNI dalam tugas tersebut.
Dirinya juga menilai kalau nantinya personel TNI akan dipandang untuk membentengi MA dari aparat penegak hukum lain, seperti Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hal itu merujuk pada kasus belum lama ini yang menjerat hakim agung MA dalam kasus korupsi yang kini ditangani KPK.
"Perlu diingat bahwa kebijakan pengamanan MA oleh TNI tidak lama berselang setelah adanya operasi tangkap tangan terhadap salah satu hakim MA," tukas Al Araf.