"Saat itu, salah satu pemilik ataupun yang meninggal dunia di rumah tersebut atas nama almarhum Budiyanto menghubungi para saksi untuk menjual rumah tersebut," kata Hengki dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (21/11/2022).
Saat itu, Budiyanto menyerahkan sertifikat asli rumah tersebut kepada sang mediator untuk menjual rumah seharga Rp1,2 miliar.
"Ada hal yang sangat tidak lazim saat ditemui mediator ini (Budyanto) langsung menyerahkan sertifikat rumah asli," ucapnya.
Namun tak kunjung ada pihak yang ingin membeli rumah tersebut.
Singkat ceritanya, mediator itu bertemu dengan seorang pegawai koperasi simpan pinjam. Kemudian, disepakati untuk menggadaikan rumah tersebut.
Kemudian, pada 13 Mei 2022, mediator dan pegawai koperasi datang ke rumah korban. Di sana, mereka sudah mencium bau busuk dari rumah itu.
"Saat ditanya, Budyanto menjawab bahwa got lupa dibersihkan," ucapnya.
Setelah itu, mereka masuk ke dalam rumah dan bertanya soal sertifikat rumah yang diketahui atas nama Margaretha.
Hengki menerangkan kedua saksi itu meminta untuk dipertemukan langsung dengan Margaretha yang disebut Budiyanto sedang tertidur di dalam kamar.
"Diantar masuk ke dalam kamar begitu pintu kamar dibuka menyeruak bau lebih busuk lagi. Dian (anak Margaretha) bilang si ibu sedang tidur dan minta lampu jangan dihidupkan karena ibu saya sensitif terhadap cahaya kata Dian," ucapnya.
Selanjutnya, tanpa sepengetahuan sang anak, pegawai koperasi ini menghidupkan lampu flash handphone.
Seketika, saksi kaget dan menyatakan bahwa Margaretha sudah meninggal dunia. "Yang bersangkutan langsung teriak takbir Allahu Akbar, ini sudah jadi mayat," jelasnya.
Berdasarkan keterangan saksi ini, kata Hengki, pihaknya menarik kesimpulan bahwa ada satu korban yang sudah meninggal pada bulan Mei.
"Kita bisa menarik kesimpulan bahwa ada yang meninggal sejak bulan Mei diduga ini adalah atas nama Reni," kata Hengki. (Tribunnews.com/Abdi Ryanda Shakti)