Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Munculnya kasus gangguan ginjal akut di Indonesia diduga karena cemaran eitilen glikol (EG) dan dietilen gilokol (DEG) yang melewati ambang batas dan ditemukan di dalam obat sirop.
Lantas, kenapa obat yang tidak penuhi standar seperti tercemar EG dan DEG ini bisa lolos dan dikonsumsi?
Baca juga: Obat Sirop Sudah Lama Digunakan, Kenapa Muncul Masalah Sekarang? Kemenkes Angkat Bicara
Terkait hal ini Direktur Pengawasan Produksi Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) , Apt Dra Togi Junice Hutadjulu, MHA berikan tanggapan.
Menurut Togi, pada dasarnya BPOM memiliki otoritas dan standar yang sama dengan regulator obat di seluruh dunia, yaitu melakukan pengawasan sepanjang produksi, baik dari pre market sampai post market.
Pada pre market pihaknya melakukan pencegahan dengan menerbitkan regulasi dan standar.
Baca juga: BPOM Wujudkan Kemandirian Produk Darah Dalam Negeri Dalam Industri Fraksionasi Plasma Darah
"Kita bekerja berdasarkan regulasi. Kita review, evaluasi semua yang akan di summit saat peredarannya, termasuk fasilitas diproduksi kita pastikan sudah memenuhi," ungkapnya pada talkshow yang diadakan secara virtual, Kamis (24/11/2022).
BPOM pun juga memberikan izin edar, sewaktu proses telah memenuhi standar.
Tapi setelah diproduksi dari industri farmasi juga memiliki kewajiban, dan hal ini tercantum di beberapa undang-undang.
"Kewajiban industri farmasi untuk memastikan obat diproduksi dan diedarkan, keamanan, khasiat dan mutu, tanggungjawab mereka," katanya lagi.
Lebih lanjut, produksi obat terus berjalan setiap harinya.
Dan proses produksi ini kata Togi tidak mungkin dilihat setiap hari, tapi semua sudah ada ketentuan dalam produksi, standar pedoman cara pembuatan obat yang baik.
Dalam aturan ini disebutkan saat mendapatkan bahan baku baik itu bahan aktif,mau pun tambahan untuk memproduksi obat, harus dilakukan pengujian.
Pada kasus ini, setelah BPOM turun ke lapangan, lima industri tadi ditemukan tidak adanya pengujian ulang pada bahan baku.
"Dari kita lihat, lima industri farmasi, kita minta datanya, turun lapangan, pada base tertentu dikatakan (bahan baku) kami langka, kami tidak dapat, kami mengubah suplyer dan sebagainya. Ternyata tidak melakukan pengujian," papar Togi.
Inilah yang akhirnya membuat produksi tidak memenuhi syarat, tapi sudah diberi izin edar.
"Jadi misalnya kami setelah mendapatkan izin edar, kami juga datang, melakukan surveillance ke sarana. Tapi tidak bisa dalam 365 hari di situ, ke 234 sarana produksi. Itu menjadi tanggungjawab produsen," pungkasnya.