Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri sekaligus saksi pelapor dugaan kasus perintangan penyidikan atau obstraction of justice tewasnya Brigadir Yoshua, Kompol Aditya Cahya dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang, Jumat (26/11/2022).
Aditya dihadirkan dalam kapasitasnya sebagai saksi untuk terdakwa Arif Rahman Arifin.
Dalam sidang Aditya menyebut kalau dus kosong DVR CCTV di Kompleks Polri Duren Tiga menjadi salah satu bukti untuk menguak kasus tewasnya Yoshua.
Pernyataan itu bermula saat kuasa hukum Arif Rahman Arifin, Junaidi Saibih menanyakan alat bukti apa saja yang dibawa oleh Aditya saat membuat laporan obstraction of justice.
"Pada saat saudara membuat laporan (Polisi), barang bukti apa yang saudara bawa?" tanya Junaidi kepada Aditya di ruang sidang.
"Buktinya (yang dibawa) dus kosong itu," jawab Aditya.
Dari situ, Junaidi kembali menanyakan keterangan Aditya yang menyebut pernah mendapatkan informasi mengenai DVR CCTV di Kompleks Duren Tiga yang hilang.
Dalam keterangannya, Aditya mengaku kalau informasi itu didapat dari Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Polri.
"Dengan dus kosong itu saja? Tadi saudara bilang bahwa saudara punya laporan (DVR CCTV) hilang itu dari Puslabfor, lalu saudara buat laporan tidak menyertakan laporan Puslabfor di dalam laporan? bagaimana laporan itu (bisa diterima)?" tanya lagi Junaidi.
Mendapat pertanyaan itu, Anggota Tim Khusus (Timsus) Polri itu meminta izin kepada majelis hakim untuk menunjukkan beberapa alat bukti yang dibawa saat membuat laporan polisi (LP).
Secara garis besar, Aditya secara tegas menyatakan kalau informasi isi DVR CCTV itu kosong diketahui dari keterangan lisan yang disampaikan oleh tim Puslabfor.
Sebab, tim Puslabfor kata dia, tidak bisa memulihkan kembali data rekaman yang ada dalam DVR CCTV yang disita tersebut.
Baca juga: Saksi Sebut CCTV di Pos Sekuriti Rekam Ferdy Sambo Mondar-mandir Sebelum Brigadir J Tewas
"Ketika saya mendapat informasi secara lisan, kami sudah berkeyakinan bahwa Puslabfor tidak bisa 'bahasa teknisnya' me-recovery lagi CCTV," jelas Aditya.
"Saya tanya apakah bukti Puslabfor yang laporan itu saudara sertakan? Kan tidak? Lalu bukti apa yang saudara sertakan?" tanya Junaidi lagi.
Namun, kembali Aditya menyebut kalau laporan soal isi rekaman DVR CCTV kosong itu diterimanya secara lisan jadi tidak ada bukti yang dibawa.
"Mohon maaf Yang Mulia, kami jelaskan memang awalnya kami terima secara lisan," kata Aditya.
"Setelah itu dalam proses penyidikan kami meminta salinan hasil pemeriksaan. Kalau kita buat laporan (polisi), kita lengkap alat buktinya," tegasnya.
Sebelumnya, Anggota Dittipidsiber Bareskrim Polri sekaligus saksi pelapor dugaan kasus perintangan penyidikan atau obstraction of justice tewasnya Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J, Aditya Cahya kembali dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang, Jumat (25/11/2022).
Aditya dihadirkan jaksa dalam kapasitasnya sebagai saksi untuk terdakwa Arif Rahman Arifin di sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Dalam keterangannya, Aditya menilai kalau bukti rekaman CCTV yang terpasang di sekitaran Komplek Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan merupakan alat bukti paling penting untuk menguak kasus tewasnya Yoshua.
Sebab kata dia, rekaman CCTV itu merekam aktivitas Ferdy Sambo termasuk Yoshua sebelum insiden penembakan terjadi di rumah dinas Ferdy Sambo, 8 Juli 2022 lalu.
Terlebih kata Aditya, ada beberapa unit CCTV yang terpasang di Komplek Polri menghadap ke arah tempat kejadian perkara (TKP).
"Pada akhirnya setelah kasus ini berlanjut kita masih dapat menemukan bukti rekaman dari arah pos satpam mengarah ke pintu pagar rumah tempat kejadian perkara (TKP)," kata Aditya dalam persidangan.
Beberapa bagian dari rekaman yang dinilai penting itu kata Aditya tercatat sekitar 2 jam yakni pada pukul 16.00-18.00 WIB.
Rekaman itu kata dia, memperlihatkan sebelum dan setelah terjadinya penembakan meski hanya dari luar rumah.
Atas keterangan itu, jaksa lantas menanyakan kepada Aditya selaku penyidik, apakah rekaman CCTV itu sebuah petunjuk penting.
Kata dia, rekaman itu penting karena dapat menjadi bukti aktivitas Ferdy Sambo dan Yoshua serta beberapa orang yang terlibat di sebelum kejadian maupun setelahnya.
"Karena itu menjadi bukti yang sangat penting, dari awal kasus ini dilaporkan adanya tembak menembak. Padahal pada saat itu dari rekaman tersebut terlihat bahwa pada saat FS (Ferdy Sambo) tiba di rumah tersebut, Yoshua masih ada terlihat bolak-balik di depan rumah," kata Aditya.
Baca juga: Rekaman CCTV Komplek Polri Disebut Jadi Bukti Paling Penting untuk Bongkar Kasus Tewasnya Yosua
"Yang saksi jelaskan itu sangat penting, adalah rekaman antara korban Yoshua dengan FS ya?," tanya jaksa.
"Siap," tegas Aditya.
Di mana dalam skenario awal kasus ini, Ferdy Sambo menyebut kalau peristiwa penembakan terhadap Brigadir Yoshua itu terjadi sebelum dirinya datang ke rumah dinas di Kompleks Polri yang merupakan tempat kejadian perkara (TKP).
Saat itu kata Ferdy Sambo terjadi tembak menembak antara Brigadir Yoshua dengan Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E.
Namun, setelah dilakukan uji CCTV yang ada di pos Satpam Kompleks Polri, terlihat Ferdy Sambo datang ke rumah dinasnya bahkan sebelum Yoshua tiba di TKP.
Dalam tayangan CCTV itu Yoshua terlihat masih hidup dan sedang berjalan masuk dari pintu samping garasi rumah.
Diketahui, Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J menjadi korban pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.
Brigadir J tewas setelah dieksekusi di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Dalam perkara ini Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, Kuwat Maruf dan Bharada Richard Eliezer alias Bharada didakwa melakukan pembunuhan berencana.
Kelima terdakwa didakwa melanggar pasal 340 subsidair Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Tak hanya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, khusus untuk Ferdy Sambo juga turut dijerat dalam kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice bersama Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Irfan Widianto, Arif Rahman Arifin, dan Baiquni Wibowo.
Para terdakwa disebut merusak atau menghilangkan barang bukti termasuk rekaman CCTV Komplek Polri, Duren Tiga.
Baca juga: Sidang Kasus Brigadir J, Pengacara Baiquni Wibowo Cecar Saksi Soal Salin Rekaman DVR CCTV Duren Tiga
Dalam dugaan kasus obstruction of justice tersebut mereka didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 subsidair Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau dakwaan kedua pasal 233 KUHP subsidair Pasal 221 ayat (1) ke 2 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP.