News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kisah Pendamping Korban Kekerasan Seksual: Masih Ada Kendala Akses Layanan Alat Kontrasepsi Darurat

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Wahyu Gilang Putranto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ilustrasi - Penggunaan alat kontrasepsi darurat di Indonesia masih mengalami beberapa hambatan, khususnya akses yang sulit didapat oleh para penyintas kekerasan seksual. Kendala ini dirasakan secara langsung oleh para pendamping korban selama mendampingi korban kekerasan seksual.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Alat kontrasepsi darurat memegang peranan penting bagi korban atau penyintas kekerasan seksual. 

Dengan alat kontrasepsi darurat, korban yang mendapatkan kekerasan secara seksual dapat mencegah kehamilan yang tidak diinginkan. 

Tentu saja, hal ini dapat mendorong dan mempercepat masa pemulihan para penyintas, baik secara fisik maupun psikis. 

Namun pada praktiknya, penggunaan alat kontrasepsi darurat di Indonesia masih mengalami beberapa hambatan, khususnya akses yang sulit didapat oleh para penyintas kekerasan seksual. 

Kendala ini dirasakan secara langsung oleh para pendamping korban selama mendampingi korban kekerasan seksual. 

Baca juga: Korban Dinikahkan Pelaku, KemenPPPA Minta Kasus Kekerasan Seksual di Sumut Tetap Diusut

Berbagai tantangan dialami para pendamping yang membantu para korban atau penyintas.

Mulai dari ketidaksediaan alat kontrasepsi darurat, proses administrasi yang panjang untuk mendapatkan alat kontrasepsi darurat ini, hingga stigma yang masih melekat pada penyintas.

Tribunnews berkesempatan melakukan wawancara dengan dua narasumber pendamping dan menemukan beberapa permasalahan yang dihadapi para korban kekerasan seksual.

Wakil Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI), dr Baety Adhayati, SpFM (K) mengisahkan, seperti apa tantangan yang dihadapi selama membantu penyintas di daerah-daerah di Indonesia dalam mengakses layanan ini.

Akses untuk mendapatkan kontrasepsi di daerah beda jauh dengan di kota besar. Di daerah, obat ini sulit untuk didapat.

“Saat (bertugas) di RSCM mungkin sudah menjadi pusat layanan terpadu, jadi memang akses lebih mudah tersedia. Tetapi begitu saya bekerja di rumah sakit daerah, yang saya alami memang ada keterbatasan dalam hal ketersediaan obat kontrasepsi darurat. Khususnya untuk korban-korban kasus kekerasan seksual,” ungkapnya pada Tribunnews, Minggu(27/11/2022). 

Baca juga: Cara Aulia Sarah Peduli Pada Korban Kekerasan Seksual, Maksimal Dalami Peran di Film Ini

Situasi ini membuat dr Baety perlu untuk melakukan pengajuan dan formularium untuk obat rumah sakit terlebih dahulu, dan dalam prosesnya kata dr Baety, membutuhkan waktu yang lama.

Di sisi lain, obat-obat untuk alat kontrasepsi darurat sering kali memang tidak masuk dalam daftar standar obat yang harus dimiliki rumah sakit. 

Akibatnya, pada kebanyakan kasus, dirinya harus mencari di luar rumah sakit untuk kebutuhan penyintas.

Situasi di atas berimbas pada panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan obat terkait. 

Padahal, waktu yang panjang dapat memengaruhi efektifitas obat atau alat kontrasepsi darurat tersebut. 

Oleh dr Baety, diterangkan bahwa obat alat kontrasepsi darurat memiliki waktu yang sangat terbatas, yaitu hanya efektif jika digunakan dalam waktu kurang dari 72 jam. 

Lewat dari waktu tersebut, maka obat dikhawatirkan tidak dapat mencegah kehamilan bagi penyintas.

“Kalau lebih dari itu tidak bisa. Tapi tentu harus periksa dulu bahwa pasien tidak hamil, sehingga sebelumnya dilakukan pemeriksaan,” tegasnya.

Situasi inilah, menurut dr Baety perlu adanya penghubung antar instansi. Pihaknya saat ini untuk ke depannya ingin mencoba beraudiensi dengan instansi terkait, untuk memastikan ketersediaan obat. 

Adanya hambatan ini, kata dr Baety, ia sempat mencoba berdiskusi dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), ia menyampaikan kondisi ini.

“Sempat berdiskusi, waktu itu ada kunjungan salah satu rumah sakit yang saya buka pelayanan untuk forensik klinik. Saya sampaikan, kami punya keterbatasan ini dalam akses obat,” paparnya. 

Baca juga: Kasus Kekerasan Seksual Pegawai Kemenkop, Oknum Polisi Diduga Peras Keluarga Korban

Ia pun menanyakan apakah bisa ketersediaan obat tersebut diberikan ke rumah sakit yang memang melakukan layanan untuk korban kekerasan seksual?

Nyatanya pendistribusian obat tersebut mesti dikoordinasikan terlebih dahulu ke Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) karena obat ini termasuk dalam kategori obat Keluarga Berencana (KB).

“Ternyata harus koordinasi dengan BKKBN karena masuk obat KB, jadi tidak bisa,” jelas dr Baety. 

Di sisi lain, ada satu hal yang ditekankan oleh dr Baety yaitu, belum semua rumah sakit terlatih memberikan pelayanan kepada penyintas.

Sehingga tidak semua korban bisa langsung mendapatkan pelayanan.

"Kok di rumah sakit ini tidak mendapatkan layanan sih, padahal saya butuh bantuan. Nah itu dia bisa melakukan komplain supaya layanan di rumah sakit lebih baik. Karena tidak semua dokter atau rumah sakit terlatih untuk menangani korban. Kadang mereka berpikir waduh ini kasus hukum ya, kayaknya kami tidak bisa deh,” ucap dr Baety.

Menurutnya, hal ini dikarenakan masih ada pemahaman, bahwa kasus hukum harus ada dokter forensik. 

Oleh karena itu, jika ada korban yang tidak mendapatkan layanan, dr Baety menganjurkan untuk melakukan komplain pada rumah sakit.  

Lebih lanjut dr Baety pun menyarankan pada masyarakat khususnya penyintas korban untuk langsung saja pergi ke rumah sakit rujukan untuk dapatkan layanan. 

Karena kondisinya penyintas yang membutuhkan ini harus berkeliling kesana-kemari untuk mendapatkannya.

“Kadang kasihan juga ada pasien keliling dulu, ke bidan dulu, ke klinik dulu ke puskesmas dulu baru ke rumah sakit. Itu sudah beberapa kali diperiksa dan ada hal menimbulkan trauma,” papar dr Baety. 

Ia pun mengatakan jika pernah mendapatkan pasien yang telah melakukan tiga kali pemeriksaan. 

Sistem ini harus diubah agar pasien mendapatkan rujukan rumah sakit yang memadai.

“Saya pernah mendapatkan pasien sudah tiga kali periksa, pas ke saya itu sudah banget periksanya. Jadi mungkin yang bisa diedukasikan kepada masyarakat, kalau mengalami kasus (kekerasan seksual) ada fasilitas rumah sakit yang menjadi pusat rujukan, ke sana dulu,” terang dr Baety. 

Menurut dr Baety, selain dokter seperti bidan atau perawat, mereka tidak punya kompetensi melakukan pemeriksaan kasus kekerasan seksual. 

Hal ini yang kadang-kadang belum dipahami oleh semua pihak.  

“Ya sudah deh coba periksa dulu mungkin karena desakan keluarga. Padahal tidak bisa, dipastikan karena tidak punya pengetahuan cukup. Karena pendidikan keperawatan dan kebidanan tidak diajari ilmu forensik,” jelas dr Bety. 

Menurutnya, tenaga kesehatan memang perlu dilibatkan, tapi lebih kepada menjaring kasus. 

Perlu dibekali pengetahuan dari segi wawancaranya, dan kalau ada kemungkinan korban kekerasan seksual, bukan diperiksa tapi diberi rujukan.  

Kendala lain yang kerap dihadapi adalah saat dr Baety bertugas di luar kota atau daerah pinggiran, salah satu kabupaten dengan wilayah cukup luas. 

Pernah pada satu kasus, waktu yang dibutuhkan ke kediaman korban menghabiskan waktu hingga tiga jam ditambah dengan keterbatasan akses. 

Setelah ada janji, dan ditunggu seharian penyintas tidak datang. Ditambah akses sinyal yang susah membuat penyintas tidak dapat dihubungi untuk menanyakan kabar.

Sehingga menurut dr Baety mungkin perlu ditambah adanya layanan operasional dinas. Ia mengingatkan kalau korban yang berada jauh dari fasilitas kesehatan perlu mendapatkan pengawalan yang ketat.

“Apa lagi kalau korbannya anak ya, semuanya kan bergantung dari keluarganya. Akan lebih bagus lagi kalau dinas itu dibekali dengan dukungan operasional untuk melakukan penjemputan,. Kadang-kadang saking jauhnya, biasanya habis diperiksa di rumah sakit, dia dilanjut pemeriksaan di kepolisian,” urai dr Baety

Selain itu, menurut dr Baety, ketersediaan rumah aman atau singgah menjadi sangat penting. Terutama jika fasilitas kesehatan jauh dari kediaman penyintas. 

Pendamping korban dari Klinik Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), dr Teza memaparkan permasalahan yang dialami penyintas lain sebelum mengunjungi pihaknya. 

Situasi yang paling sering dihadapi adalah ketidakpahaman masyarakat dan stigma soal alat kontrasepsi darurat. 

“Jadi banyak orang tidak tahu apa sih kontrasepsi darurat. Kapan dipakainya, oh ternyata kontrasepsi darurat itu yang benar seperti ini loh. Mereka sebenarnya tidak terinformasikan terkait kontrasepsi darurat tersebut,” papar dr Teza.  

Di sisi lain, berdasarkan pada pengalaman pasien, masih ditemukan anggapan bahwa kontrasepsi darurat ini bertujuan untuk mengugurkan kehamilan. 

Padahal, kata dr Teza kontrasepsi darurat sendiri tidak berfungsi mengugurkan kandungan, namun mencegah terjadinya kehamilan. 

Ini bisa dilihat dari cara kerja alat kontrasepsi darurat berbeda jauh dari obat penggugur kandungan.

“Kalau obat penggugur kandungan kan dalam kondisi kita sudah hamil baru meminum obat-obatan. Beda dengan kontrasepsi darurat, sebelum konsepsi sudah dicegah, begitu,”paparnya.

Selain itu, lewat pasiennya, dr Teza menyebutkan jika masih ada yang merasa kesulitan mengakses layanan alat kontrasepsi darurat. 

Situasi ini umumnya terjadi karena ketidaktahuan para tenaga kesehatan terkait layanan alat kontrasepsi darurat. 

Selama ini yang diketahui hanyalah alat kontrasepsi biasa berupa pil yang diminum secara berkala, suntik, dan spiral. 

Stigma dan kurangnya edukasi dari masyarakat serta tenaga kesehatan tentu dapat memperlama proses pelayanan alat kontrasepsi darurat ini. 

Padahal, peranan waktu sangat efektif dalam memengaruhi efektifitas obat tersebut. 

Hambatan Akses Layanan Kontrasepsi Darurat Pengaruhi Periode Emas 72 Jam

Rumitnya administrasi dan ketersediaan obat yang tidak selalu ada tentu harus menjadi perhatian serius bagi layanan alat kontrasepsi darurat untuk korban seksual. 

Pasalnya, di dalam alat kontrasepsi darurat ini, terdapat istilah ‘periode emas’. 

Korban mesti mendapatkan layanan ini dalam waktu 72 jam, yang mana dalam waktu ini terhitung penting atau krusial. 

Sebelumnya dr Baety sempat menjelaskan kalau korban tidak mendapatkan layanan kontrasepsi darurat dalam waktu kurang 72 jam, maka risiko terjadinya kehamilan tidak diinginkan akan jauh lebih besar.

Hal ini senada dengan Direktur Yayasan Insiatif Perubahan Akses Menuju Sehat (IPAS), dr Marcia Soumakil, MPH. 

Menurutnya, periode emas atau kurang 72 jam ini sebenarnya cukup untuk mencegah kehamilan, apa bila terjadi kekerasan seksual yang berujung pada penetrasi. 

“Di mana kurang dari 72 jam korban bisa langsung diberikan akses kontrasepsi darurat. Dan ini sebenarnya ada dalam pedoman nasional, layanan dan rujukan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan,” papar Marcia. 

Namun melihat situasi di atas, bisa jadi korban akan mengalami keterlambatan dalam mendapatkan pelayanan. 

Padahal, alat kontrasepsi darurat terhitung sangat penting bagi penyintas kekerasan seksual. 

“Sangat penting karena kekerasan seksual dapat menimbulkan kehamilan yang tidak diinginkan. Kita bisa mencegah agar penyintas yang sudah trauma fisik dan psikis, agar tidak terjadi kehamilan tidak diinginkan,” tegas dr Teza.

Selain itu menurutnya penting untuk mencegah karena ada risiko saat mereka hamil tertular penyakit menular seperti HIV. 

Belum lagi jika korban masih berusia anak-anak atau remaja, jika tidak dicegah bisa menimbulkan kehamilan yang berisiko. 

Mereka yang baru berusia anak atau remaja tentu saja belum siap untuk meneruskan kehamilan dan mengasuh anak. 

Di sisi lain keduanya belum memiliki kesiapan secara psikis dan fisik, alat reproduksi pun belum sempurna betul. 

Penggunaan alat kontrasepsi darurat pun kata dr Teza perlu adanya pengawasan dari dokter dan tidak bisa digunakan secara sembarangan. 

Obat kontrasepsi darurat tidak boleh dijadikan sebagai kontrasepsi utama dan digunakan berulang dalam waktu berdekatan.

Alat kontrasepsi darurat yang dipakai secara berulang kali, dapat menurunkan efektifitasnya.

Kurang efektif, sehingga pemakaian disarankan ketika dalam keadaan darurat saja. 

Risiko efek samping lain dari kontrasepsi darurat dapat membuat siklus menstruasi tidak teratur, hingga keguguran dan kehamilan etopik. 

Namun oleh dr Teza dikatakan jika secara umum pemakaian kontrasepsi darurat masih terbilang aman dan hanya menimbulkan efek samping yang tidak terlalu berat. 

Misalnya seperti sakit kepala, sakit perut, atau perubahan siklus menstruasi.

“Jadi sebenarnya pil kontrasepsi darurat ini hanya digunakan pada kondisi tertentu dan bersifat darurat,” pungkasnya. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini