Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara sekaligus pengajar STHI Jentera Bivitri Susanti menanggapi pernyataan para pembentuk undang-undang baik dari pemerintah maupun DPR yang menyarankan penolakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan di DPR menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurutnya para pembentuk undang-undang sejak 2019 menjadi terbiasa menggunakan argumen tersebut dalam menjawab penolakan masyarakat terhadap satu undang-undang yang menuai banyak kritikan.
Bivitri mengatakan pandangan semacam itu keliru dalam sebuah negara hukum seperti Indonesia karena dalam negara hukum, membawa perkara ke MK bukanlah sebuah upaya hukum normal melainkan upaya hukum luar biasa.
Untuk itu, menurutnya seharusnya proses legislasi perlu dimaksimalkan terlebih dulu.
Hal tersebut diungkapkannya saat Media Briefing Menyoal RKUHP: Catatan Kritis Atas Rencana Pengesahannya yang digelar Public Virtue di Century Park Hotel Jakarta pada Selasa (6/12/2022).
"Pembuat undang-undang selalu ngomong begitu, dari 2019 kan. Selalu ngomong kalau kalian tidak setuju, bawa saja ke MK," kata Bivitri.
"Memposisikan seakan-akan MK itu keranjang sampah sebenarnya. Jadi mereka boleh saja buat asal-asalan, terus nanti MK saja yang jadi keranjang sampahnya," sambung dia.
Menurut Bivitri apabila para pembentuk undang-undang tersebut terus mewacanakan itu, maka sikap tersebut menunjukkan arogansi para pembuat undang-undang
Seakan-akan, lanjut dia, seberapa buruknya pun kinerja para pembentuk undang-undang pokoknya mereka sudah ketok dan masyarakat harus menerimanya.
"Kalau nggak silakan bawa ke keranjang sampah. Ini yang saya kira harus kita kritik keras. Ini jadi tuman, kebiasaan, selalu bilangnya begitu sekarang," kata dia.
Baca juga: RKUHP Resmi Disahkan, Pemerintah Punya Waktu 3 Tahun untuk Sosialisasi
Ketua MK Jadi Juru Bicara Pernikahan Kaesang
Bivitri setuju dengan sindiran BEM Unpad terkait MK saat ini yang disampaikan Ketua BEM Unpad Virdian Aurellio dalam acara yang sama di mana MK saat ini yang tugasnya "Menjaga Kekuasaan".
Terkait hal itu, kata dia, Bivitri menyinggung Ketua MK Anwar Usman yang ditunjuk Presiden Joko Widodo sebagai juru bicara pernikahan putranya, Kaesang Pangarep.
"Padahal kajiannya teman-teman BEM itu sudah benar sekali. MK kan sekarang, pertama ketuanya lagi jadi juru bicara perkawinan anak presiden. Itu saja sudah sangat melanggar etik," kata Bivitri.
"Ada teman saya yang bilang, tapi kan wajar dong, itu kan keluarga. Nah itu! Kesalahan utamanya justru kenapa tidak mundur ketika dia menjadi bagian dari keluarga penguasa. Sekarang jadi juru bicara kawinan deh," sambung dia.
Selain itu, Bivitri juga menyinggung terkait pemecatan Hakim Konstitusi Aswanto oleh DPR dengan alasan alasan memutuskan hal-hal yang tidak sesuai dengan kemauan pembentuk undang-undang.
Menurutnya, setelah kejadian tersebut dan RUU MK yang akan segera dibahas, maka akan semakin banyak hakim yang akan "di-Aswanto-kan".
Padahal, kata dia, seorang hakim boleh dipecat karena perilakunya, bukan putusan putusannya.
Baca juga: Politisi PDIP Minta Masyarakat Tak Demo KUHP: Silakan Tempuh Jalur Hukum
Prinsip tersebut, kata dia, diakui oleh seluruh negara di dunia.
"Jadi bayangkan betapa buruknya sekarang situasi demokrasi kita, dan bisa juga salah satu kenapa RUU MK juga dibahas, Aswanto sudah dipecat dan lain sebagainya, justru untuk melindungi hal-hal yang kayak begini," kata Bivitri.
"Jadi makin enak ngomongnya, bawa saja ke MK-nya, ya sudah MK-nya juga tidak akan keluar lagi tuh putusan-putusan yang judulnya inkonstitusional," sambung dia.