News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

RUU KUHP

Anggota DPR Sebut Pasal Perzinahan di KUHP untuk Cegah Pergaulan Bebas

Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menyampaikan pandangan pemerintah terkait RKUHP saat Rapat Paripurna DPR ke-11 masa persidangan II tahun 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (6/12/2022). Dalam rapat paripurna tersebut DPR mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi Undang Undang. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Wayan Sudirta menyampaikan tanggapan soal disinformasi di masyarakat tentang pasal perzinahan di KUHP yang baru saja disahkan DPR RI.

Sudirta menerangkan di masyarakat berkembang isu seakan dengan pasal 411 dan pasal 412 KUHP tersebut, ada sejumlah wisatawan membatalkan kunjungan ke Bali karena kuatir akan ancaman pidana dalam dua pasal KUHP tersebut.

Padahal, sejatinya menurut pejabat di Bali, tidak ada agen perjalanan membatalkan liburan ke Bali  seperti santer diberitakan.

"Sebagai anggota DPR Periode 2019-2024 telah melihat berbagai pertimbangan maupun perdebatan terkait hal ini," ujar Sudirta dalam siaran persnya, Jumat (9/12/2022).

Baca juga: Mantan Jaksa Agung RI Pertanyakan Sikap DPR Yang Mudah Meloloskan KUHP Baru

Sudirta menambahkan, pasal ini memang sempat menjadi perdebatan panjang karena dinilai sebagai kewenangan negara yang melewati batas pribadi seseorang.

Namun ada sebagian fraksi yang juga menyampaikan aspirasi dari beberapa pihak yang menginginkan Pasal ini ada.

Dengan alasan untuk memberikan perlindungan kepada generasi muda dari pengaruh seks bebas maupun sesuai dengan norma agama dan nilai adat.

Makna perzinaan dalam konteks dan nilai-nilai masyarakat Indonesia (bukan masyarakat kota besar saja), yang bersumber dari Agama, adat-istiadat, dan tata norma lainnya.

Hal ini, kata Sudirta, juga sejalan dengan norma hukum pidana yang menggali dan menghormati Hukum yang hidup dalam masyarakat.

"Pasal ini merupakan penghormatan kepada lembaga perkawinan yang telah diatur dalam Undang-Undang. Para perumus sepakat untuk menjadikan pasal ini tetap diperlukan, namun harus diatur secara sangat ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan," terang Sudirta.

Lanjut Sudirta, hal itu dirumuskan sebagai delik aduan dan pengaduan dibatasi hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang paling terkena dampak (suami/istri/orang tua/anak).

"Jadi tidak sembarangan dapat diberlakukan atau digunakan oleh aparat penegak hukum maupun pihak-pihak lain," kata Sudirta.

Selain itu, menurut Sudirta, pasal ini juga memberi penegasan adanya mekanisme hukum agar tidak terjadi persekusi oleh masyarakat yang selama ini sering terjadi.

Pasal ini merupakan representasi dari beberapa nilai dalam masyarakat yang melihat perbuatan ini sebagai hal melawan hukum atau kejahatan terhadap lembaga perkawinan maupun kejahatan materiil yang dapat merugikan pihak lain maupun masyarakat secara umum.

Hal diatas adalah pendapat dari berbagai Fraksi, para ahli, dan Pemerintah. Perdebatan panjang terjadi dan dicari jalan tengahnya.

"Saya pribadi setelah mendapat penjelasan dan data tersebut, melihat bahwa pasal ini terjadi sebagai jalan tengah dari seluruh kepentingan para pihak yang menginginkan hal yang berbeda-beda," tutur Sudirta.

Namun lebih dari itu, lanjut dia, pasal ini perlu ada sebagai harmonisasi terhadap UU Perkawinan (tujuan dan filosofi lembaga perkawinan) dan norma lain yang hidup dalam tata kehidupan bangsa Indonesia.

"Kita juga harus secara bijaksana melihat berbagai fenomena permasalahan di masyarakat seperti persekusi (pengarakan oleh masyarakat untuk menimbulkan malu), kawin kontrak yang sering merugikan WNI, dan fenomena lain yang dapat merusak keharmonisan kehidupan bangsa Indonesia," kata Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan tersebut.

Namun, ucap Sudirta, pengaturannya harus dilakukan secara ketat dan terbatas mengingat dalam hal ini Negara masuk dalam ruang privat sehingga membutuhkan aturan yang jelas dan ketat.

"Adapun jika adat istiadat atau norma adat dari daerah tertentu mengatur berbeda tentu dapat mengesampingkan pasal tersebut secara restoratif, yang dimungkinkan dalam KUHP. Namun tetap dilakukan dengan mekanisme yang sesuai dengan tujuan dan filosofi negara Hukum," lanjut Sudirta.

Sudirta menegaskan bahwa melihat perkembangan dari masyarakat di Indonesia maupun di dunia internasional yang heboh dan merasa takut akan pemberitaan mengenai pasal tersebut adalah wajar mengingat masyarakat belum sepenuhnya tersosialisasikan tentang pelaksanaan dan makna filosofi pasal tersebut.

"Kami dengan sangat terbuka akan menerima seluruh masukan dari masyarakat baik di dalam maupun luar negeri, mengingat KUHP baru akan berlaku pada 2025 dan terbuka pada seluruh kemungkinan seperti uji materi maupun perubahan UU. Masa transisi tersebut tentu akan menjadi kesempatan untuk melakukan sosialisasi dan pengujian oleh masyarakat maupun mekanisme hukum formil," imbuhnya.

Dalam hal ini, akibat belum maksimalnya sosialisasi, mengakibatkan Provinsi Bali tentu akan terdampak.

Namun, Sudirta menghimbau kepada seluruh pihak dan media massa (baik nasional maupun internasional) untuk secara bijak dan seimbang memberikan informasi atau pemberitaan yang komprehensif kepada masyarakat.

"Agar tidak terjadi kesalahpahaman yang justru merugikan semua pihak dan berkesan seperti ada kepentingan terselubung untuk mencoba mengalihkan tujuan pariwisata Bali sebagai salah satu destinasi wisata dunia dan merugikan masyarakat di Bali," jelas Sudirta.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini