Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Psikolog Klinik Dewasa Liza Marielly Djaprie membeberkan mekanisme assesment psikologi terhadap Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E setelah peristiwa penembakan Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Dalam melakukan assesment, Liza mengaku bahwa wawancara dan observasi terhadap Bharada E dilakukannya sendiri.
"Memang saya yang mengambil, saya yang melakukan wawancara," ujar Liza saat ditemui usai persidangan, Senin (26/12/2022).
Namun, data wawancara dan observasi tersebut dianalisis oleh dua koleganya yang tak mengenal Bharada E.
Bahkan keduanya tak diberi tahu bahwa assesment itu merupakan milik Bharada E.
"Saya tidak katakan bahwa ini data milik Richard Eliezer. Saya hanya menulis R saja. kemudian hanya usia, jenis kelamin, sama pendidikan," ujar Liza.
Baca juga: Bharada E Saat Kecil Dikenal Sebagai Sosok yang Patuh dan Ringan Tangan Membantu Orang Lain
Kemudian dari hasil analisis yang dilakukan kedua koleganya, Liza menyusun laporan yang diintegrasikan menjadi satu.
"Saya integrasikan menjadi satu. Tapi kata per kata yang tertulis di dalam laporan saya, semua dari hasil lahan dua kolega tersebut," katanya.
Dari assesment tersebut, diperoleh hasil bahwa Bharada E merupakan seseorang yang memiliki tingkat kepatuhan tinggi.
Baca juga: Ahli Psikologi Sebut Bharada E Alami Hipomania, Menutupi Cemas dengan Semangat Berlebih
"Dari hasil tes tersebut terlihat Richard bahwa punya tingkat kepatuhan tinggi sehingga dia punya kerentanan khusus, kecenderungan tertentu untuk lebih patuh pada lingkungan. Itu dari sisi kepatuhan saja," kata Liza dalam persidangan.
Liza membedakan antara kepatuhan dengan konformitas.
Kepatuhan lebih cenderung terhadap perintah sedangkan konformitas itu melibatkan permintaan.
Dengan kepatuhan yang tinggi ini, Bharada E disebut akan melalukan sesuatu atas perintah seseorang yang lebih punya kuasa dalam hal ini Ferdy Sambo.
"Kepatuhan lebih kepada menggunakan unsur kekuatan karena kita takut, karena kita cemas, karena kita khawatir, makanya kita patuh. Jadi itu bentuk kepatuhan dlm bentuk psikologi," ujarnya.
Kepatuhan itu pun disebut Liza menimbulkan konflik internal di dalam diri Richard saat diberi perintah untuk menembak Brigadir J oleh Ferdy Sambo.
Namun, jaksa penuntut umum (JPU) tetap tak membenarkan perbuatan Richard itu meski ada konflik internal yang terjadi.
Baca juga: Romo Magnis di Persidangan Bharada E: Di Polri Suka Sekali Pakai Istilah Laksanakan Saat Diperintah
"Perbuatannya ini dengan konflik internal yang terjadi saat kejadian dengan kepatuhan yang dia miliki, okelah kita memahami. Tapi itu tidak dibenarkan, betul tidak?" ujar jaksa penuntut umum dalam persidangan, Senin (26/12/2022).
Kemudian jaksa pun melanjutkan pernyataan, bahwa kepatuhan Bharada E pada akhirnya menghilangkan nyawa seseorang.
"Karena pilihannya ini, kepatuhannya ini menghilangkan nyawa. Artinya, tetap tidak baik untuk korban," katanya.
Akan tetapi, Liza menekankan agar penyebab perbuatan itu turut dipertimbangkan.
"Betul, ini tidak bisa dianulir. Tapi balik lagi sebagai psikolog klinis, kalau ingin berbicara pada sisi ada sektrum yang bisa terlihat mengapa itu sampai terjadi," ujarnya.
Dari jawaban tersebut, jaksa pun tetap berpegang teguh bahwa perbuatan Richard tak bisa dibenarkan.
"Iya itu bisa kita pahami. Tapi perbuatan itu tetap tidak bisa dibenarkan," katanya.
Diwartakan Tribunnews.com dalam sidang kali ini pihak Bharada E menghadirkan tiga orang ahli.
Kuasa hukum Bharada E, Ronny Talapessy menyatakan, ketiga ahli yang akan dihadirkan di antaranya Psikolog Forensik, Ahli Filsafat Moral dan Psikolog Klinik Dewasa.
"Ada tiga ahli yang kita hadirkan," kata Ronny saat dikonfirmasi.
Adapun ketiga ahli yang dimaksud yakni:
1. Prof em Dr Romo Frans Magnis-Suseno SJ. (Guru Besar Filsafat Moral)
2. Liza Marielly Djaprie SPsi MPsi CH ( Psikolog Klinik Dewasa)
3. DR Reza Idragiri Amriel MCrim ( Psikolog Forensik)
Sekadar informasi Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J menjadi korban pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.
Brigadir J tewas setelah dieksekusi di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Pembunuhan itu terjadi diyakini setelah Putri Candrawathi bercerita kepada Ferdy Sambo karena terjadi pelecehan seksual di Magelang.
Ferdy Sambo saat itu merasa marah dan menyusun strategi untuk menghabisi nyawa dari Brigadir J.
Dalam perkara ini Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, Kuat Maruf, dan Bharada Richard Eliezer alias Bharada E didakwa melakukan pembunuhan berencana.
Kelima terdakwa didakwa melanggar pasal 340 subsidair Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Tak hanya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, khusus untuk Ferdy Sambo juga turut dijerat dalam kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice bersama Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Irfan Widianto, Arif Rahman Arifin, dan Baiquni Wibowo.
Para terdakwa disebut merusak atau menghilangkan barang bukti termasuk rekaman CCTV Komplek Polri, Duren Tiga.
Dalam dugaan kasus obstruction of justice tersebut mereka didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 subsidair Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau dakwaan kedua pasal 233 KUHP subsidair Pasal 221 ayat (1) ke 2 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP.