News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Polisi Tembak Polisi

Ahli Pidana dalam Sidang Kasus Brigadir J Sebut Motif Permudah Niat Orang Melakukan Perbuatan

Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ahli pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muhammad Arif Setiawan saat dihadirkan sebagai ahli meringankan oleh kubu terdakwa Kuat Ma'ruf dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (2/1/2023).

Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Muhammad Arif Setiawan mengatakan motif melakukan tindak pidana dapat mempermudah untuk mengetahui unsur kesengajaan seseorang dalam melakukan pidana termasuk pembunuhan berencana.

Hal itu dikatakan Arif saat dihadirkan dalam sidang pembunuhan berencana Brigadir J di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (2/1/2023).

Arif dihadirkan  sebagai ahli meringankan oleh tim kuasa hukum Kuat Maruf.

Mulanya, kuasa hukum Kuat Ma'ruf menanyakan soal hubungan atau relevansi antara motif tindak pidana dengan pembuktiaan terkait pembunuhan berencana yang diatur dalam pasal 338 dan pasal 340 yang turut menjerat Kuat Ma'ruf.

"Bisa jelaskan mengenai latar belakang atau motif tindak pidana relevansi dengan pembuktian terkait pasal 338 dan 340," tanya kuasa hukum Kuat Ma'ruf.

Baca juga: Kuat Maruf Berperan Memanggil Brigadir J, Ahli Pidana: Tidak Ada Meeting of Mind Pembunuhan

Menjawab hal itu, Arif mengatakan kalau motif merupakan sesuatu yang dapat mendorong seseorang melakukan perbuatan apapun.

"Motif berkaitan dengan persoalan niat, melalui pembuktian terhadap motif itu bisa memudahkan niat orang melakukan perbuatan karena motif itu sesuatu yang mendorong seseorang melakukan perbuatan," jawab Arif.

Sementara itu dalam kaitannya dengan pasal 338 dan 340, motif dapat mempermudah memahami unsur kesengajaan seseorang.

Tak hanya itu motif juga, kata dia, dapat mengetahui secara pasti niat dari seseorang melakukan tindakan tersebut.

"Memahami motif itu bisa mempermudah memahami unsur yang berbentuk kesengajaan karena kesengajaan itu ada sesuatu yang harus dibuktikan berupa mengetahui, dan memahami suatu perbuatan yang dia lakukan sehingga dengan demikian mengetahui motif lebih memudahakan untuk mengetahui niat sesorang melakukan perbuatan," beber Arif.

Tak hanya itu, kata Arif motif juga bermanfaat sebagai bahan pertimbangan untuk memperberat atau meringankan suatu tindak pidana.

Terlebih, jika memang setiap unsur dalam delik dakwaan bisa terbukti di persidangan.

"Motif bermanfaat juga untuk sebagai suatu pertimbangan apakah motifnya itu bisa menjadi yang memperingan atau memperberat suatu pidana seandainya unsur-unsur yang ada di dalam delik itu terbukti," lanjut Arif.

Hasil Lie Detector Tak Bisa Dijadikan Alat Bukti

Ahli pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Muhammad Arif Setiawan mengungkap bahwa hasil lie detector atau pendeteksi kebohongan tak bisa dijadikan alat bukti dalam kasus pidana.

Hal itu diungkapkan Arif saat dihadirkan sebagai ahli meringankan oleh tim kuasa hukum Kuat Ma'ruf dalam sidang pembunuhan berencana Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

"Kalau lie detector kalau dilihat dalam Pasal 184 itu kan tidak termasuk ada di sana, karena itu ahli memahami kalau lie detector yang asal muasalnya itu, kalau dasarnya itu berasal dari Peraturan Kapolri begitu," kata Arif dalam persidangan, Senin (2/1/2023).

Arif menyebut, sejatinya lie detector hanyalah sebuah alat yang digunakan untuk sebatas keperluan penyidikan.

Di mana, dengan alat tersebut, penyidik dalam melakukan pemeriksaan terhadap saksi atau tersangka bisa mengetahui apakah keterangan yang diperiksa itu konsisten atau tidak.

"Apakah keterangan yang diberikan para saksi itu punya konsistensi tertentu yang disebut tadi ada kebohongan atau tidak nah itu kan hanya instrumen di dalam pemeriksaan," kata dia

Kendati untuk menjadi alat bukti dalam persidangan atau perkara pidana, Arif menyebut, hasil lie detector tidak bisa disertakan di dalamnya.

"Tetapi ahli memahami itu bukan salah satu alat bukti, tetapi kalau hasil dari lie detektor itu dilakukan dengan prosedur yang benar masih mungkin dimanfaatkan untuk dinilai oleh ahli yang mempunyai kompetensi," tukas dia.

Diketahui, Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir Yoshua menjadi korban pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.

Brigadir Yoshua tewas setelah dieksekusi di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Pembunuhan itu terjadi diyakini setelah Putri Candrawathi bercerita kepada Ferdy Sambo karena terjadi pelecehan seksual di Magelang.

Ferdy Sambo saat itu merasa marah dan menyusun strategi untuk menghabisi nyawa dari Yoshua.

Dalam perkara ini Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, Kuwat Maruf dan Bharada Richard Eliezer alias Bharada didakwa melakukan pembunuhan berencana.

Kelima terdakwa didakwa melanggar pasal 340 subsidair Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.

Tak hanya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, khusus untuk Ferdy Sambo juga turut dijerat dalam kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice bersama Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Irfan Widianto, Arif Rahman Arifin, dan Baiquni Wibowo.

Para terdakwa disebut merusak atau menghilangkan barang bukti termasuk rekaman CCTV Komplek Polri, Duren Tiga.

Dalam dugaan kasus obstruction of justice tersebut mereka didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 subsidair Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau dakwaan kedua pasal 233 KUHP subsidair Pasal 221 ayat (1) ke 2 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini