Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - LBH Jakarta mengecam penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti Undang-Undang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja).
Menurut LBH Jakarta, penerbitan Perppu Cipta Kerja dinilai tidak dilandasi dengan keadaan genting yang memaksa dalam menjalankan kehidupan bernegara.
Selain itu, LBH Jakarta juga menilai penerbitan Perppu tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja inkonstitusional.
Direktur LBH Jakarta Citra Referandum mengatakan Bagir Manan telah memberikan kriteria bahwa unsur kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud Pasal 22 UUD NRI 1945 harus menunjukkan dua ciri umum, yaitu adanya krisis dan kemendesakan.
Baca juga: Perppu Cipta Kerja Hapus Aturan Hak Libur 2 Hari dalam Sepekan bagi Pekerja
Suatu keadaan krisis, kata dia, apabila terdapat suatu gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and sudden disturbance).
Sementara kemendesakan (emergency), dapat terjadi apabila berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan atau pengaturan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu.
"Penerbitan Perppu seharusnya tidak menjadi alat kekuasaan Presiden semata, walaupun merupakan kekuasaan absolut yang dibenarkan konstitusi (constitutional dictatorship) penerbitan Perppu harus menjadi wewenang bersyarat bukan wewenang yang secara hukum umum melekat pada Presiden," kata Citra ketika dikonfirmasi Senin (2/1/2023).
"Pernyataan Airlangga Hartanto soal latar belakang penerbitan PERPPU karena adanya dampak perang Rusia-Ukraina dan 'kondisi krisis ini sangat nyata untuk emerging developing country', sangatlah jauh dari keadaan bahaya baik secara kedekatan teritorial maupun sosial, ekonomi, politik," sambung dia.
Selain itu, kata dia, penerbitan Perppu tersebut sarat akan kepentingan pengusaha dan proses pembentukan undang-undang masih dapat dilaksanakan secara biasa atau normal sebagaimana syarat yang ditentukan ditentukan dalam Pasal 22 UUD NRI 1945 dan Putusan MK 138/PUU-VII/2009.
Selain itu, lanjut dia, perlu adanya penjelasan secara ilmiah (scientific) dengan menggunakan berbagai
medium pemerintah secara partisipatif yang meluas menyentuh tiap-tiap lapisan masyarakat bilamana ada gejala akan menghadapi situasi genting dan memaksa.
"Artinya, tidak menjadi tafsir subjektif Presiden beserta Kabinet saja," kata dia.
Baca juga: Fraksi PKS Minta DPR Tolak Perppu Cipta Kerja: Lebih Baik Bahas Kembali Undang-undangnya
Kemudian, menurutnya sebagai perwakilan konstituen DPR harus mendengar dan bersikap memihak terhadap rakyat.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menurutnya dapat memberi persetujuan atau tidak atas Perppu dalam persidangan DPR yang berikutnya sesuai dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang mengatur bahwa “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut”.
Artinya, DPR harus betul-betul mendengar dan mempertimbangkan suara masyarakat atas terbitnya Perppu tersebut sebagai pemegang mandat para konstituen.
DPR juga harus mengambil kesepakatan untuk tidak menyetujui Perppu tersebut sebagai bentuk perimbangan kekuasaan (checks and balances) dan koreksi secara politis demi mencegah keberlanjutan tindakan inkonstitusional yakni membenarkan penerbitan Perppu tersebut sebagai tindak lanjut Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 dan solusi atas adanya kegentingan yang memaksa yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah.
Ciitra juga mengatakan pihaknya menilai keterbukaan dan pendokumentasian pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terkait Perppu tersebut buruk.
Mahkamah Konstitusi, memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dikarenakan proses pembentukan undang-undang tidak adanya partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Dengan adanya Perppu tersebut, menurutnya Presiden bertindak tidak menghiraukan isi putusan MK dan melanjutkan praktik buruk legislasi.
Paling tidak, publik seharusnya dapat melihat dan membaca isi draf Perppu tersebut.
Namun kenyataannya, hingga Sabtu (31/12/2022) publik sulit mengakses Perppu tersebut bahkan pada Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) lembaga-lembaga pemerintahan.
Menurutnya, hal tersebut merupakan kebiasaan buruk yang berulang dalam proses legislasi Indonesia.
"Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, LBH Jakarta mendesak Presiden RI untuk menarik kembali PERPPU No. 2 Tahun 2022," kata dia.
Baca juga: Tegas Tolak Perppu Ciptaker, KSPSI: Akal-akalan Oligarki
"DPR RI untuk tidak menyetujui penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022," lanjut dia.
Selain itu, LBH Jakarta juga mendesak Presiden RI dan DPR RI untuk menghentikan segala bentuk pembangkangan terhadap Konstitusi.
"Presiden RI dan DPR RI untuk menghentikan praktik buruk legislasi dan mengembalikan semua proses pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan prinsip-prinsip Konstitusi, Negara Hukum yang demokratis, dan Hak Asasi Manusia," sambung dia.
Perppu Cipta Kerja karena Alasan Mendesak
Diberitakan sebelumnya Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti Undang-Undang Cipta Kerja.
Menkopolhukam Mahfud MD menjelaskan bahwa penerbitan Perppu 2 tahun 2022 tersebut murni karena alasan medesak sebagaimana putusan MK Nomor 138/PUU/VII/2009.
"Karena ada kebutuhan yang mendesak ya kegentingan memaksa untuk bisa menyelesaikan masalah hukum secara cepat," kata Mahfud di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (30/12/2022).
Mahfud mengatakan terdapat 3 alasan penerbitan Perppu dalam putusan tersebut, yakni mendesak, ada kekosongan hukum maupun upaya memberikan kepastian hukum.
Tiga alasan tersebut dinilai cukup untuk menerbitkan Perppu nomor 2 tahun 2022.
"Oleh sebab itu pemerintah memandang ada cukup alasan untuk menyatakan bahwa diundangkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini didasarkan pada alasan mendesak seperti tadi disampaikan oleh Bapak Menko Perekonomian yaitu misalnya dampak perang Ukraina ya yang secara global maupun nasional mempengaruhi negara-negara lain termasuk Indonesia," Kata Mahfud.
Menurut Mahfud pemerintah perlu mengambil langkah cepat dan strategis untuk mengantisipasi potensi ancaman inflasi, ancaman stagflasi, krisis multisektor, masalah suku bunga, kondisi geopolitik serta krisis pangan.
Langkah strategis tersebut tidak bisa menunggu perbaikan UU Cipta Kerja sebagaimana yang diperintahkan MK 25 November lalu.
"Oleh sebab itu langkah strategis diperlukan dan untuk memenuhi syarat langkah strategis bisa dilakukan maka Perpu ini harus dikeluarkan lebih dulu Itulah sebabnya kemudian hari ini tanggal 30 Desember Tahun 2022 presiden Sudah menandatangani Perpu nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta kerja," pungkas Mahfud.