Situasi itu, terang dia, memperlihatkan respons terhadap praktik korupsi masih berjalan lambat bahkan terus memburuk akibat minimnya dukungan nyata dari para pemangku kepentingan.
"Skor ini turun empat poin dari tahun 2021 atau merupakan penurunan paling drastis sejak 1995," kata Wawan.
Wawan menyebut terdapat delapan indikator penyusunan IPK.
Tiga indeks mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu yaitu PRS International Country Risk Guide (dari 48 menjadi 35); IMD World Competitiveness Yearbook (dari 44 menjadi 39); dan PERC Asia Risk Guide (dari 32 menjadi 29).
Indeks yang mengalami kenaikan yaitu World Justice Project - Rule of Law Index (dari 23 menjadi 24) dan Varieties of Democracy Project (dari 22 menjadi 24).
Sementara tiga yang stagnan yaitu Global Insight Country Risk Ratings (47); Bertelsmann Foundation Transform Index (33); dan Economist Intelligence Unit Country Ratings (37).
Secara global, Denmark negara yang menempati posisi pertama dengan IPK 90.
Diikuti oleh Finlandia dan Selandia Baru dengan skor IPK 87.
Menurut Wawan, institusi demokrasi yang kuat dan penghormatan besar terhadap hak asasi manusia juga menjadikan negara-negara tersebut menjadi negara paling damai menurut Global Peace Index.
Sementara itu, Sudan Selatan (13), Suriah (13) dan Somalia (12) yang seluruhnya terlibat konflik berkepanjangan tetap berada di posisi bawah.
Selain itu, sebanyak 26 negara di antaranya Qatar (58), Guatemala (24), dan Inggris (73), berada di posisi terendah dalam sejarah tahun ini.
Diketahui, organisasi internasional yang bertujuan memerangi korupsi politik itu rutin mengeluarkan skor IPK setiap tahunnya.
Skor berdasarkan indikator 0 atau sangat korup hingga 100 yang berarti sangat bersih.