Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana mengatakan, tersangka AAL diduga telah membuat peraturan yang menguntungkan dirinya terkait pengadaan vendor proyek tersebut.
“Tersangka AAL telah dengan sengaja mengeluarkan peraturan yang telah diatur sedemikian rupa untuk menutup peluang para calon peserta lain sehingga tidak terwujud persaingan usaha yang sehat serta kompetitif dalam mendapatkan harga penawaran,” tulis Ketut dalam keterangannya, Rabu (4/1/2023) malam.
Menurut Ketut, itu dilakukan dalam rangka untuk mengamankan harga pengadaan yang sudah di mark-up.
Peran tersangka GMS sebagai pihak yang memberikan masukan dan saran kepada tersangka AAL terkait Peraturan Direktur Utama dalam proyek kasus tersebut.
“Beberapa hal yang diketahui dimaksudkan untuk menguntungkan vendor dan konsorsium serta perusahaan yang bersangkutan yang dalam hal ini bertindak sebagai salah satu supplier salah satu perangkat,” ujar Ketut.
Kemudian, peran tersangka YS secara melawan hukum telah memanfaatkan Lembaga HUDEV UI untuk membuat kajian teknis yang telah direkayasa untuk kepentingan pihak tertentu.
Ketut menambahkan, kajian teknis tersebut pada dasarnya adalah dalam rangka mengakomodir kepentingan tersnagka Anang.
Akibat perbuatan ketiga tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam kasus ini, Kejagung juga masih menelusuri soal dugaan tindak pidana pencucian uang (TTPU).
Dugaan kerugian Rp 1 triliun
Berdasarkan penghitungan sementara per Rabu (16/11/2022), kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi pengadaan BTS 4G dan BAKTI Kominfo itu mencapai Rp 1 triliun.
Perhitungan sementara itu bedasarkan nilai kontrak dalam proyek tersebut.
“Sampai saat ini untuk dugaan kerugian masih perhitungan dari teman-teman penyidik sekitar Rp 1 triliun dari jumlah Rp 10 triliun (nilai kontrak),” kata Ketut.
Ketut mengatakan, perhitungan masih terus dilakukan oleh penyidik bersama auditor dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Nilai kerugian itu, kata Ketut, masih bisa bertambah atau berkurang.
“Tapi ini (nilai kerugian) bisa berkembang, bisa bertambah dan juga berkurang, karena belum mendapat kerugian yang final dari teman-teman BPKP,” ujar Ketut Sumedana.
Seret nama Menkominfo
Kasus ini berbuntut panjang. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate pun bakal diperiksa tim penyidik Kejaksaan Agung pada Kamis (9/2/2023).
Johnny G Plate akan diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tower base transceiver station (BTS) periode 2020 hingga 2022.
Informasi tersebut dikonfirmasi oleh Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejaksaan Agung, Kuntadi.
Dalam kasus ini, tim penyidik telah menemukan alat bukti permulaan yang cukup untuk dijadikan alasan pemanggilan Menkominfo Johnny G Plate.
Oleh sebab itu, konfirmasi terkait alat bukti tersebut akan ditagih oleh tim penyidik.
"Kami mau mengkonfirmasi sesuai alat bukti yang kita punya," kata Kuntadi.
Namun, hari ini ternyata Johnny G Plate mangkir dari panggilan Kejaksaan Agung.
Semestinya, Johnny G Plate datang ke Kejaksan Agung untuk memberikan keterangan sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tower base transceiver station (BTS) periode 2020 hingga 2022.
Namun, pihak Kejaksaan Agung telah mendapat konfirmasi ketidakhadiran Johnny G Plate.
"Pada pagi hari ini saya berkordinasi dengan tim penyidik dari Jampidsus Kejaksaan Agung RI dan saya mendapat surat yang dikirim oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia terkait dengan ketidakhadiran daripada saksi JGP," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksan Agung, Ketut Sumedana dalam konferensi pers pada Kamis (9/2/2023).
Sebagaimana diketahui, jumlah tersebut selaras dengan jumlah istri tersangka perkara pokok yang telah diperiksa tim penyidik.
Dalam perkara TPPU ini, tim penyidik Kejaksaan Agung telah memeriksa istri Dirut BAKTI Kominfo bernama Sakinah Juliani Utami dan istri Galumbang Menak Simanjuntak yang bernama Nelfi.
Akan tetapi, Kuntadi masih enggan membeberkan nama-nama tersangka yang dimaksud dalam perkara TPPU.
"Ya nantilah, ujarnya.
Dari pemeriksaan istri tersangka perkara pokok, tim penyidik berhasil menemukan dan menyita aset.
Penyitaan dilakukan atas satu unit rumah dari Direktur Utama BAKTI Kominfo, Anang Achmad Latif.
"Dari tersangka AAL," Kuntadi.
Rumah yang disita itu belum lama ini dibeli Anang Achmad Latif.
Karena itu, status kepemilikannya belum berganti kepada Anang ataupun pihak keluarganya.
"Baru pelunasan. Jadi masih atas nama sebelumnya," kata Kuntadi.
Sementara terkait Galumbang, tim penyidik telah menyita tiga mobil.
Ketiga mobil tersebut merupakan hasil sitaan dari penggeledahan kediamannya.
"(Dari) GMS," katanya pada Senin (9/1/2023).
Selain itu, Kejaksaan Agung juga telah menyita uang tunai dalam mata uang dolar Amerika Serikat dari tersangka Galumbang.
Nilai uang tunai yang disita setara dengan miliaran rupiah.
"Satu setengah miliar," kata Kuntadi.
Tim penyidik pada Jampidsus Kejaksaan Agung mengamankan tumpukan uang dolar tersebut dari dalam mobil tersangka.
"Mobilnya di rumah," ujarnya.
Aset-aset tersebut merupakan hasil sitaan dari penggeledahan kediaman Galumbang.
Sebagaimana diketahui, penggeledahan tersebut dilakukan pada hari yang sama dengan penetapan Galumbang sebagai tersangka pada Rabu (4/1/2023).
Dirinya ditetapkan tersangka bersama dua orang lain, yaitu Direktur Utama BAKTI Kominfo, Anang Achmad Latif dan Tenaga Ahli Human Development (HUDEV) Universitas Indonesia, Yohan Suryanto.
Kemudian pada Selasa (24/1/2023), Kejaksaan Agung kembali menetapkan tersangka dalam perkara ini, yaitu Account Director of Integrated Account Departement PT Huawei Tech Investment, Mukti Ali.
Terbaru, Komisaris PT Solitech Media Sinergy, Irwan Hermawan ditetapkan tersangka pada Senin (6/2/2023).
Dalam kasus ini para tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.