TRIBUNNEWS.COM - Permasalahan sampah plastik, khususnya pada industri air minum dalam kemasan (AMDK) seperti lingkaran yang tidak terputus. Tidak hanya peran masyarakat di bagian hilir, produsen AMDK pada bagian hulu juga wajib berinovasi dan mengikuti regulasi yang ada agar sampah plastik dapat tertangani dengan baik.
Aturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 yang menargetkan pengurangan sampah hingga sebesar 30 persen pada tahun 2030, bakal sulit terwujud jika konsensus tidak dicapai oleh semua pihak.
“Harapannya, temuan kami ini bisa mendorong perusahaan dan masyarakat agar segera mengambil langkah untuk mengatasi polusi plastik,” demikian pernyataan Sungai Watch dalam laporan terbaru mereka yang didokumentasikan dalam “Sungai Watch Impact Report 2022”.
Audit merek yang dilakukan organisasi lingungan Sungai Watch di Bali pada 2022 mengungkapkan selama tiga tahun berturut-turut, market leader air minum dalam kemasan (AMDK) di Indonesia menjadi produsen sampah terbesar di Pulau Bali. Audit yang sama di Sungai Ciliwung Jakarta juga menunjukan hasil yang tidak jauh berbeda.
Ketua Net Zero Waste Management Consortium, Ahmad Safrudin, dalam rilisnya menanggapi temuan Sungai Watch mengatakan (7/3), fakta temuan ini menunjukkan adanya indikasi pelanggaran hukum karena diduga memicu terjadinya pencemaran lingkungan hidup (tanggung renteng pelaku dumping limbah di lingkungan - Pasal 60 dan 104 UUPPLH No 32/2009) dan tidak mematuhi ketentuan peta jalan pengurangan sampah (PermenLHK No 75/2019 yang ditetapkan bersandar pada Perpres 97/2017, Perpres 83/2018, PP 81/2012 dan UU 18/2008).
Menurutnya, terjadinya timbulan sampah di lingkungan adalah indikasi tidak dijalankannya program reduce (pengurangan sampah) dengan upsizing (menghentikan penggunaan kemasan plastik pada volume/bobot kecil), recycle dengan EPR (Extended Producers Responsibility, menarik kembali kemasan produknya untuk didaur-ulang), dan reuse dengan pemanfaatan kembali kemasan plastik yang tidak berisiko pada kesehatan.
“Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan atau Pemerintah Daerah Provinsi Bali harus memberikan teguran dan menarik uang paksa untuk pembinaan, dan penegakan hukum dalam pengelolaan sampah,” kata Ahmad Safrudin.
Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 menargetkan pengurangan sampah hingga sebesar 30 persen pada tahun 2030. Target pengurangan tersebut dilakukan dengan, antara lain mendorong produsen AMDK mengubah desain produk berbentuk mini menjadi lebih besar (Size up) hingga ke ukuran 1 liter, untuk mempermudah pengelolaan sampahnya.
Di samping itu, produsen diharuskan untuk mengimplementasikan mekanisme pertanggungjawaban terhadap produk dalam kemasan plastik yang dijual, saat nantinya produk tersebut menjadi sampah (Extended Producers Responsibility/EPR).
Masalahnya, hingga kini, upaya Size up dan EPR oleh produsen masih menjadi tantangan implementasi Permen KLHK No. 75/2019.
“Permen LHK 75/2019 ini merupakan upaya pemerintah menekan volume sampah di Indonesia,” kata Rosa Vivien Ratnawati, SH., M.SC. Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3), KLHK, beberapa waktu lalu.
Data dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) memaparkan, Indonesia menghasilkan 64 juta ton sampah per tahun. Sampah plastik menguasai 5 persen atau 3,2 juta ton dari total sampah.
Dari jumlah 3,2 juta ton timbulan sampah plastik, produk AMDK bermerek menyumbang 226 ribu ton atau 7,06 persen. Sebanyak 46 ribu ton atau 20,3 persen dari total timbulan sampah produk AMDK bermerek merupakan sampah AMDK kemasan gelas plastik.
Berdasarkan data yang dirilis World Economic Forum (WEF), produksi sampah plastik di Indonesia diperkirakan berpotensi melambung menjadi 8,7 juta ton pada 2025, dari sebelumnya sebesar 6,8 juta ton pada 2017. Hal ini sekaligus menunjukkan, Peta Jalan pengurangan sampah dipastikan bakal berjalan alot.