TRIBUNNEWS.COM - Sejarah Bandung Lautan Api merupakan peristiwa sejarah tak terlupakan bagi bangsa Indonesia.
Peristiwa Bandung Lautan Api tepat terjadi pada 77 tahun lalu sebagai upaya mempertahankan kemerdekaan RI.
Bandung Lautan Api terjadi setelah keluarnya ultimatum sekutu kepada Perdana Menteri Syahrir pada 23 Maret 1946.
Sekutu mengultimatum agar pasukan Indonesia meninggalkan Bandung Selatan sejauh 10-11 kilometer sebelum pukul 24.00 WIB, tanggal 24 Maret 1946.
Ultimatum tersebut dibalas oleh pasukan Indonesia dengan membumihanguskan Bandung sebelum kota itu ditinggalkan.
Berikut sejarah terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api, dikutip dari Kemendikbud berdasarkan Buku Sejarah Nasional Indonesia VI karya Djanoed Poesponegoro, Marwati dan Nugroho Notosusanto.
Baca juga: Sejarah dan Pengertian Ogoh-ogoh dalam Perayaan Hari Raya Nyepi
Peristiwa ini terjadi karena adanya pertempuran Bandung Lautan Api, pasca kemerdekaan Indonesia pada 1945.
Saat itu, keamanan Indonesia yang belum stabil.
Hal itu membuat kondisi di daerah masih didominasi oleh perebutan kekuasaan serta pertempuran.
Sejak kedatangan pasukan sekutu di bawah Brigade MacDonald pada 12 Oktober 1945, hubungan sekutu dengan pemerintah semakin memanas.
Sekutu meminta seluruh senjata api yang dimiliki penduduk, kecuali milik Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan polisi diserahkan kepada mereka.
Kondisi Bandung semakin memanas saat orang-orang Belanda yang baru saja bebas dari kamp tahanan mulai melakukan tindakan yang mengacaukan keamanan.
Hal tersebut membuat bentrokan antara tentara Sekutu dengan TKR tidak dapat dihindari.
Kemudian pada 24 November 1945 malam, TKR dan badan–badan perjuangan lainnya melancarkan serangan terhadap markas–markas Sekutu di Bandung bagian utara.
Termasuk Hotel Homan dan Hotel Preanger yang menjadi markas besar Sekutu.
Setelah tiga hari terjadinya penyerangan markas Sekutu, MacDonald menyampaikan ultimatumnya kepada Gubernur Jawa Barat agar segera mengosongkan wilayah Bandung Utara oleh seluruh warga Indonesia termasuk pasukan bersenjata.
Ultimatum itu harus dilaksanakan selambat–lambatnya pukul 12.00 tanggal 29 November 1945.
Karena adanya ultimatum tersebut, Sekutu membagi kota Bandung Utara menjadi wilayah kekuasaan mereka.
Sementara kekuasaan Bandung Selatan berada di bawah pemerintah Republik Indonesia.
Ultimatum pun dijawab pasukan Indonesia dengan mendirikan pos–pos gerilya di berbagai tempat.
Sekutu juga berusaha untuk membebaskan interniran atau kamp konsentrasi Belanda di Ciater.
Sekutu pun terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Indonesia di wilayah Lengkong Besar.
Pada saat memasuki awal tahun 1946, pertempuran semakin berkobar secara sporadis.
Pertempuran berlangsung, banyak serdadu India yang semula bagian dari pasukan Sekutu melakukan desersi dan bergabung dengan pasukan Indonesia.
Satu d iantara serdadu India yang membelot di antaranya adalah Kapten Mirza dan pasukannya saat terjadi pertempuran di Jalan Fokker (sekarang Jalan Garuda) pada pertengahan Maret 1946.
Baca juga: 5 Poin Peristiwa Bandung Lautan Api 24 Maret 1946 sebagai Usaha Mempertahankan Kemerdekaan
Tidak lama setelah itu, pihak Sekutu menghubungi Panglima Divisi III Jenderal A.H Nasution meminta agar pasukan India tersebut diserahkan kembali kepada Sekutu.
Jelas Nasution menolaknya. Bukan hanya untuk mengembalikan pasukan India semata, tetapi juga mengadakan pertemuan dengan pihak Sekutu.
Serangan sporadis dari pasukan Indonesia dan kegagalan mencari penyelesaian di tingkat daerah menyebabkan posisi Sekutu semakin terdesak.
Sekutu pun akhirnya melakukan pendekatan terhadap pihak petinggi pemerintahan Republik Indonesia.
Tepat pada 23 Maret 1946, mereka menyampaikan ultimatum kepada Perdana Menteri Syahrir agar selambat-lambatnya pada pukul 24.00 tanggal 24 Maret 1946, pasukan Indonesia sudah meninggalkan Bandung Selatan.
Menanggapi ultimatum tersebut, Syahrir menugasi Syafruddin Prawiranegara dan Jenderal Mayor Didi Kartasasmita hadir ke Bandung.
Baik Jenderal Mayor Nasution maupun aparat pemerintah menolak ultimatum sekutu karena sangat mustahil memindahkan ribuan pasukan dalam waktu singkat.
Mereka menemui Mayor Jenderal Hawthorn meminta agar batas ultimatum diperpanjang.
Sementara itu, pihak sekutu terus menyebarkan pamflet berisi tentang berita ultimatum tersebut.
Hingga 23 Maret 1946 sore hari, Nasution ikut ke Jakarta bersama Syafruddin dan Didi Kartasasmita untuk menemui Perdana Menteri Syahrir.
Mereka membuat alasan untuk menyelamatkan Tentara Republik Indonesia (TRI) dari kehancuran.
Pihak Syahrir mendesak Nasution agar memenuhi ultimatum tersebut.
Syahrir pun berpendapat bahwa TRI belum mampu menandingi kekuatan pasukan Sekutu.
Baca juga: Sofa Kuning Episode 1: Mengenal Sejarah Bandung Lautan Api hingga Makna Doreri di Lagu Apuse
Keesokannya, Nasution kembali ke Bandung untuk sekali lagi dan melakukan negosiasi terkait penundaan pelaksanaan ultimatum.
Namun, tentara Sekutu tetap pada pendiriannya menolak penundaan ultimatum.
Bahkan Nasution juga menolak tawaran Sekutu yang hendak meminjamkan 100 truk untuk membawa pasukan Indonesia ke luar kota.
Pertemuan yang diadakan Nasution dengan para Komandan TRI, para pemimpin laskar, dan aparat pemerintahan akhirnya mencapai kesepakatan untuk membumihanguskan Bandung sebelum kota itu ditinggalkan.
Mereka berencana untuk membumihanguskan wilayah itu pada 24 Maret pukul 00.00.
Namun ternyata peristiwa tersebut dilaksanakan lebih awal yakni pukul 21.00.
Gedung pertama yang diledakkan ialah Bank Rakyat.
Kemudian disusul dengan pembakaran tempat seperti Banceuy, Cicadas, Braga dan Tegalega.
Anggota TRI membakar sendiri asrama-asrama mereka.
Pada 24 Maret 1946 malam, bukan hanya pasukan bersenjata yang meninggalkan kota Bandung, tetapi seketika kota itu pun terbakar dan menjadi seperti lautan api.
Maka dari peristiwa bersejarah itulah disebut sebagai Bandung Lautan Api.
(Tribunnews.com/Muhammad Alvian Fakka)