TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari merespons terkait rencana Partai Buruh untuk melakukan judicial review Perppu Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Feri Amsari mengatakan, langkah tersebut perlu dilakukan.
"Ya saya pikir langkah itu perlu dilakukan," kata Feri Amsari, saat dihubungi, Selasa (28/3/2023).
Ia menjelaskan, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja bermasalah dalam formalitas pembentukannya, karena melanggar pasal 52 Ayat 4 dan 5 UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan.
Oleh karena itu, menurut Feri, nantinya uji formil yang harusnya diuji terlebih dahulu.
"Saya pikir mestinya harus formalistik dulu ya yang kemudian diuji," ucapnya.
Sementara itu, Feri juga menanggapi dugaan sejumlah pihak yang mengatakan, MK kehilangan independensinya setelah mengganti hakim konstitusi Aswanto dengan hakim Guntur Hamzah.
"Dan tentu ini tidak ada korelasinya dengan MK, karena kan MK belum mengesahkan Perppu Cipta Kerja. Yang mengesahkan itu DPR," jelasnya.
"Ya jadi kita lihatlah, apa putusan MK terkait pengujian UU Cipta Kerja yang berasal dari Perppu ini," sambung Feri.
Baca juga: Perppu Cipta Kerja Disahkan Jadi UU, Pengamat: Saya Tidak Yakin Independensi Hakim Konstitusi
Sebelumnya, Partai Buruh menyampaikan, akan mengajukan gugatan atau Judicial Review terhadap Undang Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan, kemungkinan pihaknya akan membuat gugatan ke MK, pada tanggal 15 April 2023.
"Karena harus menunggu 30 hari untuk mendapatkan nomor UU Omnibus Law Cipta Kerja itu. Kalau sudah mendapatkan nomor, kita ajukan gugatan," kata Said Iqbal, dalam konferensi pers, Jumat (24/3/2023).
"Oleh karena itu diperkirakan 15 April 2023, Judicial Review UU Omnibus Law Cipta Kerja dimasukkan ke MK," sambungnya.
Adapun Said menjelaskan, pihaknya akan mengajukan 2 gugatan. Yakni uji formil dan uji materiil terkait UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Kata Said, terkait uji formil akan diuji terkait buruh yang tidak dilibatkan dalam publik hearing saat pembuatan UU Cipta Kerja, sehingga tidak ada partisipasi yang bermakna dalam penyusunannya.
“Terkait uji materiil, yang akan diuji adalah pasal-pasal terkait upah minimum, outsourcing, buruh kontrak, pesangon, PHK, pengaturan jam kerja, pengaturan cuti, TKA, hingga sanksi pidana yang dihilangkan,” ujarnya.
Sebelumnya, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja telah disahkan menjadi Undang-Undang pada Sidang Paripurna IV yang digelar di Gedung Parlemen, Senayan pada Selasa (21/3/2023).
Hal ini disampaikan oleh Ketua DPR RI sekaligus ketua sidang paripurna, Puan Maharani.
"Apakah rancangan undang-undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang untuk disahkan menjadi undang-undang?" tanya Puan dikutip dari TV Parlemen.
"Setuju!" jawab peserta sidang paripurna.
Kemudian, Puan pun mengetuk palu sebanyak tiga kali.
Tak cukup sekali, Puan pun kembali bertanya kepada peserta sidang terkait kesetujuan pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang.
Peserta pun kembali menyatakan setuju agar Perppu Cipta Kerja dijadikan undang-undang.
Sebelum disahkan, anggota DPR dari Fraksi Demokrat dan PKS menolak disahkannya Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang.
Sebelumnya penerbitan Perppu Cipta Kerja diumumkan oleh Menteri Koordinator Perekonomian (Menko Perekonomian), Airlangga Hartarto dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD di Istana Kepresidenan pada 30 Desember 2022 lalu.