TRIBUNNEWS.COM - Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan, Tunjangan Hari Raya (THR) wajib dibayarkan secara penuh dan paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamaan.
"THR keagamaan ini harus dibayar penuh, tidak boleh dicicil. Saya minta perusahaan agar taat terhadap ketentuan ini," ujar Ida, dikutip dari laman Kemnaker.
Ketentuan tersebut tertuang dalam surat edaran Nomor M/2/HK.04.00/III/2023 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2023 Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
Lantas, apakah ada sanksi bagi perusahaan yang telat memberikan THR?
Ida mengatakan, ada sanksi bagi perusahaan yang mencicil pemberian THR atau terlambat dari batas maksimal yang ditentukan.
Sanksi bagi perusahaan yang melanggar tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Baca juga: Cara Menghitung THR Karyawan Tetap, Kontrak, hingga Pekerja Lepas, Ini Jadwal Pencairannya
Sanksi tersebut mulai dari teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, hingga pembekuan kegiatan usaha.
"Sanksinya yang pertama ada teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, dan pembekuan kegiatan usaha," ujar Ida pada kesempatan yang sama.
Ida berharap seluruh perusahaan dapat memberikan THR dan patuh terhadap regulasi yang berlaku.
"Tentu kita semua berharap pengenaan sanksi ini tidak terjadi, oleh karena itu saya minta perusahaan saya minta untuk patuh terhadap regulasi yang ada," kata dia.
Siapa saja yang berhak menerima THR?
Dalam SE dijelaskan, THR Keagamaan diberikan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus atau lebih, baik yang mempunyai hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), termasuk pekerja/buruh harian lepas yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan.
Bagaimana cara menghitung THR tahun 2023?
1. Pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih akan mendapatkan THR sebesar 1 bulan upah.
2. Pekerja/buruh dengan masa kerja 1 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan diberikan secara proporsional dengan perhitungan:
(masa kerja (bulan)):12) x 1 bulan upah
Contoh:
(6 bulan:12) x Rp 4.000.000 = Rp 2.000.000
3. Bagi pekerja/buruh yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian lepas, upah 1 bulan dihitung sebagai berikut:
a. Pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan atau lebih, upah 1 bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima dalam 12 bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan
b. Pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja kurang dari 12 bulan, upah 1 bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima tiap bulan selama masa kerja
4. Bagi pekerja/buruh yang upahnya ditetapkan berdasarkan satuan hasil maka upah 1 bulan dihitung berdasarkan upah rata-rata 12 bulan terkahir sebelum hari raya kegamaan.
Ida mengatakan, terkait ketentuan mengenai besaran THR, dimungkinkan perusahaan memberikan THR yangn lebih baik dari peraturan perundang-undangan.
Dalam Permenaker 6/2016 diatur bahwa bagi perusahaan yang dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP), perjanjian kerja bersama (PKB), atau kebiasaan yang berlaku di perusahaan tersebut telah mengatur besaran THR yang lebih baik dari ketentuan peraturan perundang-undangan, maka THR yang dibayarkan kepada pekerja/buruh tersebut sesuai dengan PK, PP, PKB, atau kebiasaan tersebut.
Ida menyatakan, hal yang penting untuk digarisbawahi terkait dasar perhitungan THR yang menggunakan upah ini.
Menurutnya, bagi perusahaan industri pada karya tertentu berorientasi ekspor yang melaksanakan penyesuaian waktu kerja dan upah sebagaimana yang diatur dalam Permenaker 5/2023 maka perusahaan tetap wajib membayar THR Keagamaan.
Upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan THR adalah nilai upah terakhir sebelum dilakukannya penyesuaian upah tersebut.
(Tribunnews.com/ Widya/ Danang Triatmojo)