Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan dalam perkara nomor 20/PUU-XXI/2023 yang diajukan Notaris Hartono.
Itu merupakan perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap UUD 1945.
Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mengatakan dalam pertimbangan hukum Perkara Nomor 33/PUU-XIV/2016 tersebut menegaskan norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP adalah norma yang konstitusional sepanjang tidak dimaknai lain selain PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya dan tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum.
Mahkamah menegaskan apabila ada pemaknaan yang berbeda terhadap norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang justru menjadikan norma tersebut inkonstitusional.
“Pemohon mendalilkan Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan yang telah memberikan kewenangan kepada Jaksa untuk mengajukan PK telah menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945,” ucap Manahan MP Sitompul, sebagaimana dikutip dari laman MKRI, Jumat (14/4/2023).
Baca juga: Ini Alasan Mahkamah Konstitusi Tolak Pengadilan HAM
Terlebih lagi, menurut Pemohon adanya fakta bahwa dalam perkara pidana yang telah dijalani oleh Pemohon, Kejaksaan telah mengajukan PK meskipun Pemohon telah dinyatakan bebas berdasarkan putusan PK yang telah diajukan oleh pemohon sehingga hal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum.
Selain itu, menurut Pemohon, pengajuan PK yang dilakukan oleh Kejaksaan tersebut juga didasarkan atas penuntutan yang berlaku surut karena PK diajukan Jaksa sebelumnya atas putusan PK dari Mahkamah Agung yang membebaskan terpidana dan telah diputus pada tanggal 15 September 2021.
Sedangkan, norma pada Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan diundangkan pada tanggal 31 Desember 2021 sehingga materi muatan Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yakni hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Selain itu, dalam pertimbangannya, Mahkamah juga menilai Pasal 30C huruf h dan Penjelasan Pasal 30C huruf h UU 11/2021 adalah pasal baru yang disisipkan di antara Pasal 30 dan Pasal 31 dalam UU 16/2004 yakni pada angka 27 dalam BAB III tentang Tugas dan Wewenang Kejaksaan.
Sebelumnya, dalam UU 16/2004 tidak diatur kewenangan Jaksa untuk melakukan PK. Namun, dalam Pasal 35 huruf d UU 16/2004 yang menyatakan, “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: … d. mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara”, Kejaksaan, in casu Jaksa Agung telah diberikan kewenangan untuk dapat mengajukan kasasi.
Dengan disisipkannya Pasal 30C huruf h beserta Penjelasannya dalam UU Kejaksaan berarti telah menambah kewenangan kejaksaan, in casu kewenangan untuk mengajukan PK tanpa disertai dengan penjelasan yang jelas tentang substansi dari pemberian kewenangan tersebut.
Menurut Mahkamah, penambahan kewenangan tersebut bukan hanya akan menimbulkan ketidakpastian hukum, namun juga akan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan oleh Jaksa khususnya dalam hal pengajuan PK terhadap perkara yang notabene telah dinyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Terlebih lagi, adanya fakta bahwa terkait dengan isu konstitusionalitas PK telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VI/2008 dan dipertegas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016.