TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Kapolda Sumatera Barat Irjen Teddy Minahasa mengakui adanya 'perang bintang' di tubuh institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Teddy Minahasa bahkan mengkalim dirinya merupakan korban dari 'perang bintang' tersebut.
Menurut Teddy Minahasa, kasus sabu yang menjeratnya saat ini sarat akan nuansa persaingan kelompok tersebut.
Teddy Minahasa mengatakan kasus pengedaran sabu yang menjeratnya sengaja direkayasa dan dipaksakan agar dia terjerat.
Kesimpulan Teddy itu didasarkan pada proses penyidikan hingga penuntutan yang tak sesuai prosedur. Dia mencontohkan saat menjalani pemeriksaan di Direktorat Reserse Narkoba Polda Jaya.
"Majelis Yang Mulia, tidak bermaksud menyimpang dari pokok-pokok persoalan dalam kasus ini tetapi hal ini perlu saya utarakan kembali terkait dengan penyampaian Direktur Reserse Narkoba dan Wakil Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Bapak Mukti Jaya dan Bapak Doni Alexander kepada saya, mereka membisikkan di telinga saya dan mengatakan 'mohon maaf Jenderal, mohon ampun Jenderal ini semua atas perintah pimpinan'," ungkap Teddy Minahasa saat membacakan jawaban atas replik Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Jumat (28/4).
Menurut Teddy, Mukti dan Dony menyampaikan hal itu dengan ekspresi wajah serba salah pada 24 Oktober 2022 dan 4 November 2022. Situasi itu disimpulkan Teddy bahwa keduanya dalam situasi tertekan. Ia menduga ada desakan dari pimpinan agar dirinya terjerat.
"Mengisyaratkan ada tekanan atau desakan dari pimpinan dalam tanda kutip, 'agar saya tersesat dalam kasus ini'," simpul Teddy.
Jenderal bintang dua itu menganggap terjadi persaingan tidak sehat dan perang bintang di institusi Polri.
"Karena itu patutlah saya menarik suatu kesimpulan bahwa di internal Polri telah terjadi persaingan yang tidak sehat, atau adanya nuansa perang bintang sebagaimana dilansir oleh berbagai media massa arus utama pada beberapa waktu yang lalu," ujarnya.
Menurut Teddy, kesimpulan itu selaras dengan hasil survei Indikator Politik Indonesia pada 27 November 22 yang menyatakan bahwa dari 67 persen responden yang mengetahui tentang pemberitaan kasus Teddy, sebanyak 58,8 persen berpendapat bahwa adanya persaingan antar kelompok di dalam tubuh Polri yang tidak sehat.
Baca juga: Tak Rusak CCTV, Teddy Minahasa Singgung Kasus Ferdy Sambo dan KM 50
Selain menyinggung soal 'perang bintang', dalam repliknya Teddy juga menyampaikan protes kepada jaksa lantaran telah menganggap sederet prestasi yang ia beberkan di muka persidangan adalah sebuah pencitraan belaka.
Teddy menegaskan di institusi Polri jenjang kepangkatan dinilai berdasarkan kualifikasi kompetensi dan kinerja serta prestasi. Menurut Teddy, pangkat jenderal bintang dua yang kini disandangnya diraih dengan pengabdian terhadap institusi Polri.
"Sehingga tidaklah sportif jika jaksa penuntut umum menganggap bahwa prestasi dan reputasi saya hanya untuk pencitraan diri sendiri," katanya.
Teddy menganggap penilaian jaksa tersebut justru semakin menguatkan dirinya memang sengaja dibinasakan sesuai pesanan industri hukum. Ia pun meyakini konspirasi nyata dalam perkara yang kini menjeratnya.
Teddy mencap jaksa tuna empati lantaran tak peduli saat dirinya menceritakan latar belakang keluarganya yang berasal dari keluarga tidak mampu. Namun, ketika Teddy menjelaskan prestasinya, jaksa justru menilai hal tersebut adalah pencitraan pribadi.
"Patut tidak saya menyimpulkan bahwa JPU menyandang tuna empati. Tuna tidak punya rasa kasihan sama sekali dan hanya memiliki syahwat serta ambisi untuk menjebloskan saya," kata Teddy.
Dalam kasusnya, Teddy Minahasa dituntut hukuman mati oleh jaksa karena dianggap terbukti menjual 5 kg sabu yang merupakan barang bukti pengungkapan kasus oleh Polres Bukittinggi.
Tindak pidana itu dilakukan Teddy bersama AKBP Dody Prawiranegara, Linda Pujiastuti, Kompol Kasranto, Aiptu Janto Parluhutan Situmorang, Muhammad Nasir, dan Syamsul Maarif.
Jaksa menilai perbuatan Irjen Teddy Minahasa Putra ini memenuhi unsur Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Dody dituntut dengan hukuman pidana 20 tahun penjara dan Linda dengan pidana 18 tahun penjara. Kemudian Kasranto dan Syamsul Ma'arif sama-sama dituntut pidana 17 tahun penjara. Sedangkan Janto dituntut pidana 15 tahun penjara.
Jaksa juga meminta majelis hakim menghukum mereka untuk membayar denda sebesar Rp2 miliar subsidair enam bulan kurungan. Mereka dinilai terbukti melanggar Pasal 114 ayat (2) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(tribun network/aci/dod)